JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/10) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 79/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Rido Pradana dan Nurul Fauzi dari Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pemuda Ansor.
Menurut para Pemohon, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 18/2003 berpotensi merugikan hak-hak para Pemohon. "Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 pernah diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Namun Pemohon menilai terdapat beberapa perbedaan, membuat permohonan yang kami ajukan ini tidak nebis in idem," jelas Nurul Fauzi salah seorang Pemohon.
Nurul menunjukkan Putusan MK Nomor 19/PUU-I/2003 yang menguraikan permohonan Pemohon. Ketika itu Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d menimbulkan diskriminasi bagi para lulusan sarjana hukum berusia 21 atau 22 tahun, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
"Permohonan kedua, terhadap Undang-Undang Advokat pada 2015, kemudian dikeluarkan Putusan Nomor 84/PUU-VIII/2015. Pemohon saat itu mendalilkan norma Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Advokat menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian karena tidak terdapat syarat maksimal untuk menjadi seorang advokat." ungkap Nurul kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Para Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Advokat menimbulkan diskriminasi bagi para Pemohon untuk menjadi seorang advokat dan menghambat para Pemohon untuk memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja sebagai seorang advokat, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Selain itu, para Pemohon mendalilkan norma Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Advokat telah menimbulkan ketidakpastian bagi para Pemohon menjadi seorang advokat, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Sementara itu, Rido Pradana menyampaikan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Advokat dapat disimpulkan advokat adalah salah satu jenis profesi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan, keahlian, keterampilan, kejuruan, dan sebagainya tertentu. Selain itu advokat juga merupakan profesi luhur yang menuntut nilai moral dari pelakunya, yaitu: a. Berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi; b. Sadar akan kewajibannya; c. Lalu, memiliki idealisme yang tinggi.
Dikatakan Rido, sebagai profesi hukum, pembatasan umur bukanlah hal mutlak bagi seorang advokat. Adanya ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Advokat yang membatasi umur untuk menjadi advokat harus sekurang-kurangnya berumur 25 tahun, menyebabkan terhambatnya setiap warga negara untuk menjadi advokat yang seharusnya tidak didasarkan atas batasan umur, tetapi didasarkan atas pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman di bidang hukum, sehingga batasan umur minimal tidak relevan lagi bagi profesi advokat karena parameter profesi advokat tidak berdasarkan umur.
Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para Pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukum. Ia mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami. "Kalau Anda sekarang berusia 23 tahun ditambah magang dua tahun sudah 25 tahun. Ada tidak kerugian konstitusional Anda? Kalau Anda ketika berumur 20 tahun sudah lulus S1, kemudian mau jadi advokat syaratnya harus 25 tahun, sudah magang dua tahun. Masih ada sisa dua tahun, menganggur. Kerugian konstitusional Anda ada. Sekarang sebenarnya Anda mempersoalkan apa?" ucap Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa Putusan MK itu sebetulnya sudah komprehensif. "Menyatakan bahwa di situ ada persoalan kematangan emosional, ya kan? Kedewasaan itu mengukurnya. Baik kemudian dari sisi akademiknya, dan sebagainya. Karena apa? Tadi sudah disampaikan bahwa seorang advokat itu dia tidak kerja sendirian di tempat yang sepi. Berhadapan kemudian dengan penegak hukum dalam satu proses integrated criminal justice system. Itu harus dipikirkan nanti," kata Enny.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya) |