JAKARTA, Berita HUKUM - Arifudin selaku kuasa hukum Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Rabu (2/11). Pokok perbaikan antara lain kedudukan hukum Pemohon dan dalil-dalil permohonan.
"Pemohon selaku asosiasi perguruan tinggi memiliki kepentingan langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan ilmu hukum yang melahirkan sarjana hukum, magister hukum, dan doktor ilmu hukum dengan kualifikasi dan standar yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi," kata Arifudin menjelaskan perbaikan kedudukan hukum kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Diungkapkan Arifudin, Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia bertujuan salah satunya untuk memperkuat dan mengimplementasikan penyelenggaraan pendidikan tinggi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
"Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kepentingan Pemohon adalah adanya suatu kewajiban yang untuk ikut serta menjaga dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga yang dimaksud dengan di Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar 1945," urai Arifudin.
Pemohon pun lebih tegas dan detail menjelaskan perihal Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Menurutnya, pendidikan profesi advokat merupakan pendidikan yang masuk dalam kategori pendidikan formal. Sebab, kegiatan pendidikan khusus tersebut merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari konferensi strata satu yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
"Sebelum mahasiswa mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, mereka harus selesai terlebih dahulu strata satu baru kemudian bisa mengikuti pendidikan khusus profesi advokat tersebut. Artinya, ada suatu jenjang yang memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Artinya, di sini kita berpendapat bahwa PKPA itu adalah merupakan pendidikan yang sifatnya formal," ucap Arifudin.
Dengan demikian, menurut Pemohon, penyelenggaraan pendidikan profesi, dalam hal ini adalah pendidikan profesi advokat, merupakan bagian integral dari pendidikan strata satu ilmu hukum. Pendidikan profesi advokat sepatutnya dirancang dan dilaksanakan secara bersama-sama oleh lembaga pendidikan tinggi hukum dengan organisasi profesi advokat.
Sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan "Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat." Kemudian pada Pasal 3 ayat (1) huruf f UU a quo disebutkan, "Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat."
Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat menghambat warga negara untuk mendapatkan standar dan jaminan kualitas pendidikan yang dapat diakui dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Pemohon beranggapan ketentuan a quo mengabaikan hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan amanah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon berdalih, penyelenggaraan pendidikan advokat adalah hak perguruan tinggi ilmu hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Organisasi advokat sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Advokat adalah sebagai organisasi profesi, bukan sebagai organisasi pendidikan. Sehingga segala bentuk penyelenggaraanya yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan adalah menyimpang dari apa yang dimaksud dalam pembentukan organisasi advokat itu sendiri.(NanoTresnaArfana/lul/MK/bh/sya) |