JAKARTA, Berita HUKUM - Pembatasan hak cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bertujuan agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang dan sesuai dengan asas kemanfaatan. Hal ini disampaikan oleh Perwakilan DPR Didi Mukrianto dalam sidang yang digelar pada Rabu (27/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo merupakan pembatasan terhadap hak eksklusif pemegang hak cipta yang dalam keadaan tertentu, kepentingan umum atau kepentingan nasional merupakan pengecualian dan tidak merupakan pelanggaran terhadap kepentingan pemegang hak cipta. Dengan persyaratan tertentu, kepentingan umum atau nasional lebih diutamakan daripada kepentingan pemegang hak,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Ia menjelaskan pada hakikatnya, kepentingan umum atau nasional merupakan keadaan, atau kepentingan yang membatasi, atau pengecualian terhadap pelaksanaan hak eksklusif pemegang hak cipta. Oleh karena sifatnya yang merupakan pembatasan atau pengecualian, maka pertimbangan kepentingan umum atau nasional hanya digunakan dalam hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
“Kepentingan nasional juga dapat dijadikan pembelaan terhadap tindakan-tindakan yang melibatkan materi yang dilindungi hak cipta dalam pengungkapan kepada publik, pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi atas suatu ciptaan tanpa izin dari pemegang hak cipta oleh pemerintah tidak dipandang sebagai pelanggaran hak cipta jika kepentingan nasional menghendaki agar materi tersebut diumumkan, didistribusikan, atau dikomunikasikan,” paparnya.
Sementara Pemerintah mempertanyakan apakah pemohon merupakan pencipta priscard yang dipergunakan oleh Jamsostek. Melalui perwakilannya Wicipto Setiadi, Pemerintah meragukan bahwa priscard adalah ciptaan pemohon yang telah diambil alih tanpa izin oleh Pemerintah melalui Jamsostek.
“Apakah program Jamsostek dan ciptaan yang dibuat Pemohon hanya merupakan kesamaan ide namun memiliki ekspresi yang berbeda konstitusi sesuai dengan prinsip dasar hak cipta yaitu bahwa hak cipta tidak melindungi ide atau gagasan namun ekspresi dari ide. Oleh karena itu, ketika dua pihak memiliki ide atau gagasan yang sama namun dengan ekspresi atau wujud ciptaan yang berbeda, maka ciptaan kedua pihak tersebut dilindungi dan prinsip ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” terangnya.
Pencipta Private Social Card (Priscard), sebuah kartu santunan sosial, Bernard Samoel Sumarauw yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukumnya, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta. Pasal 51 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dapat meyelenggarakan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi dan/ atau sarana lain untuk kepentingan nasional tanpa izin dari Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan kepada Pemegang Hak Cipta”. Ia menganggap frasa dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 yang menyebutkan “Pemerintah menyelenggarakan atas suatu ciptaan untuk kepentingan nasional” mempunyai pemahaman yang multi tafsir karena ciptaan pemerintah bukanlah suatu karya cipta yang dihasilkan dan diekspresikan, diwujudkan dalam bentuk nyata, dan tidak ada sifat khas dan pribadi yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ia menganggap pasal tersebut menyatakan ciptaan pemerintah untuk kepentingan nasional tidak perlu meminta izin dari Pemohon, tetapi diberikan imbalan. Sedangkan dalam Undang-Undang Hak Cipta itu sendiri dinyatakan dengan tegas dan jelas bahwa setiap undang-undang yang sudah dibuat yang sudah mendapatkan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM itu harus mendapatkan izin dari Pemohon, walaupun itu suatu ciptaan pemerintah untuk kepentingan nasional, tidak tercantum dalam undang-undang tersebut.(LuliAnjarsari/mk/bh/sya) |