JAKARTA, Berita HUKUM - Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) Indonesia mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia mencabut Peraturan Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020. Salah satu yang diatur dalam aturan tersebut yaitu pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim.
Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia mengatakan bahwa Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan. Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan,' kata Manan, sebagaimana Press Releasenya pada, Selasa (22/12).
Substansi aturan ini sama dengan aturan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri di Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu.
"Surat Edaran MA tersebut mencantumkan ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut Mahkamah Agung setelah mendapat protes dari berbagai kalangan," jelas Manan.
Atas keluarnya Peraturan Mahkamah Agung ini, yang memasukkan lagi ketentuan yang sudah pernah dipersoalkan sebelumnya, AJI Indonesia menyampaikan sikap:
1. Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim. Peraturan Mahkamah Agung ini tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sebab, ketentuan tersebut akan menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang.
2. Meminta Mahkamah Agung untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers. Kami bisa mengerti bahwa Mahkamah Agung ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi. Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.(aji/bh/sya) |