JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian UU Perkoperasian yang dimohonkan oleh Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi, serta delapan Pemohon lainnya, Rabu (18/9). Para Pemohon pada sidang kali ini menghadirkan dua orang saksi yang berkecimpung dalam kegiatan perkoperasian. Keduanya dengan tegas mengungkapkan bahaya modal penyertaan.
Trisna Ansarli yang menjadi anggota koperasi kredit bina seroja sekaligus menjadi salah satu penasihat induk koperasi kredit dalam sidang ini hadir sebagai saksi Pemohon. Trisna menyampaikan, koperasi sejatinya bermakna sebagai kumpulan orang yang menjalankan prinsip saling tolong-menolong dan bergotong royong. Trisna pun menegaskan berdasarkan pengalamannya sejak tahun 80-an berkecimpung di dunia perkoperasian, koperasi bukanlah semata dimaknai sebagai badan hukum seperti yang tercantum dalam UU Perkoperasian. Dengan berapi-api, Trisna pun menegaskan modal bukanlah hal yang utama dalam koperasi karena modal hanya berperan sebagai pembantu dalam meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi.
“Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian itu sudah salah dalam pendefinisiannya. Karena koperasi sesungguhnya adalah merupakan perkumpulan orang dan bukan badan hukum semata. Modal bukanlah utama dan hanyalah berperan sebagai pembantu dalam mencapai kesejahteraan insan-insan koperasi atau anggotanya. Kekuatan modal dari luar yang akan digelontorkan melalui skema modal penyertaan itu hanya mematikan prakarsa dan kemandirian anggota,” tukas Trisna.
Keterangan serupa juga disampaikan Mimin Mintarsih selaku Ketua Koperasi Hasanah di Sukabumi, Jawa Barat. Mimin menegaskan dirinya dan anggotanya tidak setuju bila modal dari luar koperasi dijadikan andalan untuk menghidupkan koperasi karena modal dari luar justru memberatkan koperasi yang harus membayar angsuran dan bunga pada pihak pemberi pinjaman. Akibatnya, anggota koperasi tidak dapat lagi menerima sisa hasil usaha.
“Yang Mulia, dalam kami berkoperasi juga tidak setuju kalau modal dari luar itu juga jadi andalan. Pengalaman kami, modal dari pihak luar itu justru memberatkan kami. Misalnya saja untuk hutang dari KUR (Kredit Usaha Rakyat) pada akhirnya yang terjadi koperasi kami malah habis untuk membayar angsuran dan bunga pada pihak bank atau pihak luar. Kami tidak dapat memberikan sisa hasil usaha pada anggota,” jelas Mimin.
Mimin pun mengungkapkan pengalaman sebelumnya mengenai bantuan modal dari pemerintah yang justru menghancurkan koperasinya. Ia mengatakan sebelumnya ia sudah pernah bergabung dengan Koperasi Pengembang Sumber Daya Kebun Pedas pada tahun 1996. Pada awalnya, koperasi ini memulai kegiatan sederhana seperti simpan pinjam dan berjalan baik-baik saja. Namun pada tahun 2002, Koperasi Pengembang Sumber Daya Kebun Pedes mendapat pinjaman dari Dinas Koperasi sebesar 100 juta rupiah. Dari situlah kemudian Koperasi Pengembang Sumber Daya Kebun Pedes menjadi kacau dan akhirnya dibubarkan.
“Uang dari pemerintah itu ternyata bukannya malah menambah kekuatan perkumpulan kami, tapi malah menggoyahkan persatuan dan persaudaraan kami,” tukas Mimin.(yus/mh/mk/bhc/sya) |