JAKARTA, Berita HUKUM - DPR menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat uji Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsudin mewakili DPR pada sidang perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 dan perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi pada, Selasa (23/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Para Pemohon sebagai partai politik yang telah terwakili dalam fraksi PDI Perjuangan dan anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan selaku pemohon menjadi bagian yang terpenting ketika pembuatan undang-undang a quo. Oleh karenanya DPR berpendapat tidak ditemukan adanya tindakan diskriminasi terhadap diri Pemohon,” jelas Aziz di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Sementara terkait perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 yang meminta uji norma terhadap aturan mengenai keterwakilan perempuan, Aziz menjelaskan peraturan mengenai keterwakilan perempuan tidak diatur dalam UU MD3, tetapi diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib karena menyangkut kewenangan DPR. Keterwakilan perempuan sudah diatur dalam tata tertib DPR sebagaimana amanat dari Pasal 84 ayat (10), Pasal 97 ayat (7), Pasal 104 ayat (7), Pasal 109 ayat (7), Pasal 115 ayat (7), dan Pasal 121 ayat (7), dan terakhir Pasal 153 ayat (3) dan ayat (7) UU MD3 bahwa ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Peraturan DPR, lanjutnya, merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya, mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh UU MD3. “Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan, diakui keberadaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,” tuturnya.
Pilihan Hukum Terbuka
Dalam sidang tersebut, hadir beberapa Pihak Terkait, di antaranya Muhammad Sarmuji dan Didik Prihartono. Keduanya merupakan Calon Anggota DPR Terpilih yang merasa berpotensi dirugikan dengan adanya permohonan ini. Diwakili oleh Heru Widodo, Pemohon menuturkan argumentasi tentang permohonan prematur atau tidak terpenuhinya syarat formil karena ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang merupakan dua keadaan berbeda.
“Jika rancangan undang-undang sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai judicial review. Namun jika statusnya masih sebagai rancangan undang-undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya tidak dapat disebut sebagai judicial review, melainkan judicial preview,” jelasnya.
Sedangkan mengenai mekanisme penentuan pimpinan DPR beserta alat kelengkapannya yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat yang dipilih dari dan oleh anggota DPR, Pihak Terkait merupakan bentuk pilihan hukum terbuka atau opened legal policy dari sifat kepemimpinan lembaga-lembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi yang bersifat kolektif, kolegial seperti di lembaga Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih dari dan oleh anggota.
“Kekeliruan pada masa lalu yang menetapkan kepemimpinan DPR berdasarkan perolehan kursi dan hasil suara pemilu legislatif menjadi catatan untuk dilakukan penyempurnaan dalam penentuan kepemimpinan. Mengenai alasan dari Pemohon bahwa mekanisme penentuan pimpinan sudah berdasarkan konvensi ketatanegaraan, menurut hemat Pihak Terkait konvensi ketatanegaraan itu sendiri bukanlah hukum, di sinilah letak perbedaan antara ketentuan hukum dengan konvensi ketatanegaraan,” paparnya.
Kemudian mengenai keterwakilan perempuan, partisipasi perempuan dalam menentukan wakilnya di legislatif dijamin oleh konstitusi sehingga logis apabila keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif harus mendapatkan jaminan dan perlakuan khusus. Namun demikian, terangnya, dalam hal untuk menempatkan pimpinan, menempatkan dan memilih pimpinan dewan sebagaimana prinsip opened legal policy justru memberikan peluang yang sama bagi siapa pun yang berkualitas dan berintegritas untuk menduduki posisi sebagai pimpinan dari masing-masing alat kelengkapan dewan tanpa dibatasi gender. “Dengan alasan ini pulalah, maka alasan-alasan Pemohon dalam permohonan di atas tidak mempunyai alasan hukum yang kuat dan tidak bertentangan antara apa yang ada terkandung dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dengan konstitusi yang berlaku di negara ini,” terangnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 mendalilkan pemberlakuan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 merugikan hak konstitusional PDI Perjuangan selaku pemenang pemilu. Hal ini dikarenakan aturan-aturan tersebut mengatur bahwa pemangku jabatan-jabatan di parlemen akan dipilih langsung oleh anggota DPR dan tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan porsi perolehan kursi seperti diatur dalam Pasal 82 UU Nomor 27 tahun 2009 (UU MD3 sebelum revisi). Adapun jabatan-jabatan yang diatur dalam pasal tersebut yaitu pimpinan Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Pemohon juga menjelaskan pembuatan ataupun pembahasan pasal-pasal yang dimintakan pengujian ini, bertentangan dengan tata tertib DPR serta jika merujuk pada ilmu perundang-undangan, maka suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek filosofis, sosiologis, dan politik.
Sementara perkara nomor 82/PUU-XII/2014 dimohonkan oleh lima orang warga negara (Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Aida Vitayala, Yuda Kusumaningsih, dan Lia Wulandari) yang bertindak sebagai perseorangan serta tiga badan hukum privat (Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Perkumpulan Mitra Gender). Kesemuanya menggugat Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) UU MD3 yang dinilai telah secara terstruktur menghapus seluruh ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam UU MD3 sebelum revisi, khususnya klausula yang berbunyi “dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”.
Dalam permohonannya, Para Pemohon yang diwakili oleh Veri Junaidi, mengakui bahwa konstitusi tidak secara eksplisit mengatur tentang kuota keterwakilan perempuan. Para Pemohon menilai penghapusan seluruh klausula keterwakilan perempuan dalam UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian, Pemohon juga merasa mengalami kerugian konstitusional karena kesempatan bagi Pemohon sangat kecil untuk dapat menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR ketika Pemohon menjadi anggota DPR-RI. Selain itu, ruang bagi Pemohon untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan, dalam menduduki posisi pimpinan alat kelengkapan DPR-RI akan sangat terbatas karena adanya dominasi politik dari anggota DPR lainnya.(Lulu Anjarsari/mh/mk/bhc/sya) |