JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (9/9). Enam orang warga Papua tercatat sebagai pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 106/PUU-XIII/2015 tersebut, yakni Abraham Pelamonia, Yosep Adi, Isay Wenda, Samuel Fruaro, Hasael Ayub Wombay, Echletus Jefry Maximus Sawaki.
Diwakili kuasa hukumnya Donny Tri Istiqomah, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 80 huruf j UU MD3 terkait hak DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Dapil) atau lebih dikenal dengan dana aspirasi. Lebih lengkap, Pasal 80 huruf j UU MD3 menyatakan ‘Anggota DPR berhak (j) mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan’.
Pemohon menilai ketentuan dalam pasal 80 huruf j UU MD3 tersebut bertentangan dengan prinsip ‘perwakilan rakyat’. Menurut para Pemohon, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, prinsip keterwakilan rakyat dilaksanakan melalui representasi partai politik di parlemen sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Dalam ketentuan Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Namun, pasal 80 huruf j UU MD3 telah membuat membuat representasi rakyat berubah, dari representasi rakyat melalui partai politik menjadi representasi Dapil. Hal inilah yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut, para Pemohon mendalilkan, pasal yang diujikan juga bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, sebab dapil secara tidak langsung telah berubah menjadi wilayah yang “berdaulat” karena terdapatnya representasi dapil di DPR. Hal tersebut, menurut para Pemohon berpotensi memunculkan pemahaman adanya bentuk kedaulatan lain selain kedaulatan rakyat, yaitu kedaulatan dapil, sehingga bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
“Keberadaan Pasal 80 huruf j ini membuat representasi keterwakilan berubah terdistorsi menjadi representasi dapil. Nah, sehingga kemudian secara tidak langsung terlihat seolah-olah ada kedaulatan baru di Republik ini yang awalnya kedaulatan rakyat juga menjadi ada suatu kedaulatan yang bernama kedaulatan dapil,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Dalam persidangan perdana tersebut, Pemohon menyebut perubahan representasi Dapil mempengaruhi pembagian dana aspirasi. Pemohon kemudian menyimulasikan pembagian dana aspirasi, di mana satu dapil (satu anggota DPR) minimal menerima dana aspirasi sebesar Rp20 Milyar. “Maka untuk Dapil Papua, Papua Barat terutama, hanya mendapatkan Rp60 Milyar. Papua yang hanya 10 kursi karena basisnya 1 kursi itu 20 Milyar, Papua itu hanya Rp200 Milyar. Total sebenarnya kalau memang disetujui nanti oleh Menteri Keuangan sekitar Rp11,7 Triliun ya, uang nanti akan menumpuk di Pulau Jawa,” urainya.
Selanjutnya, dengan diberikannya hak kepada anggota DPR untuk mengusulkan program pembangunan Dapil, maka menurut para Pemohon, hak tersebut membuka peluang untuk ditafsirkan sebagai tindakan ‘membayar balik’. Tindakan untuk membalas dukungan politik yang didapatkannya sebelum anggota DPR tersebut terpilih, baik dukungan dalam bentuk suara pemilih (vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.
Menurut Pemohon, praktik dana aspirasi ini juga berpotensi menimbulkan suap yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada anggota DPR. Sebab, kata Pemohon, tidak menutup kemungkinan setiap anggota DPR akan meminta kompensasi kepada Pemerintah Daerah, karena menganggap dirinya telah berjasa dalam mengusulkan program-program pembangunan yang diminta dan dititipkan oleh Pemerintah Daerah kepadanya.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim Sidang Panel memberikan saran-saran kepada Pemohon. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya (legal standing). “Pasal ini kan tidak mengatur mengenai Anda, tapi mengatur mengenai DPR yang berhak untuk memperjuangkan aspirasi daerah itu,” terangnya.
Sementara, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai permohonan Pemohon hanya merupakan kekhawatiran yang belum terjadi. “Itu kan (dana aspirasi) belum tentu diterapkan dan belum tentu usul itu diterima. Namun juga perlu juga dipertanyakan apakah anggaran pembangunan daerah itu memang didasarkan kepada daerah pemilihan. Kalau itu mungkin. Nah, itu nampak jelas kalau itu.” tandasnya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/mk/bh/sya)
|