Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Virus Corona
Tiga Hakim Berbeda Pendapat, MK Tolak Uji UU Wabah Penyakit Menular
2020-12-01 07:21:48
 

Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pendapat berbeda pada sidang pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Rabu (25/11) di Ruang Sidang MK.(Foto: Humas/Ifa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Permohonan uji aturan mengenai tanggung jawab pemerintah terkait sumber daya dan penghargaan terhadap petugas yang menanggulangi wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU 4/1984) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 36/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Rabu (25/11) di Ruang Sidang Pleno MK. Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia serta beberapa orang dokter mempersoalkan Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 dan Pasal 6 UU 6/2018.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Pemohon meminta agar Mahkamah memaknai frasa "ketersediaan sumber daya yang diperlukan" dalam Pasal 6 UU 6/2018 menjadi "Ketersediaan Alat Pelindung Diri bagi tenaga medis". Menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tersebut telah terakomodasi pengaturannya dalam ketentuan Pasal 72 ayat (3) UU 6/2018 karena Alat Pelindung Diri yang dimaksud adalah bagian dari alat kesehatan yang merupakan bagian dari Perbekalan Kekarantinaan Kesehatan, bukan bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana yang didalikan oleh para Pemohon.

"Oleh karena itu, lanjut apabila Petitum para Pemohon dikabulkan berkenaan dengan pemaknaan frasa 'ketersediaan sumber daya yang diperlukan' dalam Pasal 6 UU 6/2018 dimaknai menjadi ketersediaan alat pelindung diri, insentif bagi tenaga medis, santunan bagi keluarga tenaga medis dan sumber daya pemeriksaan penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat, hal tersebut justru akan mempersempit serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya redundancy dengan pengaturan yang sudah termaktub dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 78 khususnya Pasal

72 ayat (3) UU a quo," papar Wahiduddin.

Terlebih lagi, sambung Wahidudiin, jika petitum para Pemohon tersebut dikabulkan justru akan menimbulkan kerugian di masyarakat secara luas karena berdampak pada ketidakmaksimalan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat. Hal tersebut karena Pemerintah menjadi tidak berkewajiban lagi untuk menyediakan fasilitas kekarantinaan kesehatan misalnya rumah sakit, sediaan farmasi misalnya obat-obatan, dan perbekalan kesehatan lainnya. "Padahal hal demikian menjadi tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) UUD 1945," ujarnya.

Tidak Berkorelasi

Selain itu, Wahiduddin mengungkapkan persoalan ketidaktersediaan Alat Pelindung Diri secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di tengah kondisi masa pandemi COVID-19 saat ini sebagaimana didalilkan para Pemohon sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian dan keprihatinan para Pemohon dan siapapun yang harus menjadi catatan khusus bagi Pemerintah.

"Namun demikian persoalan tersebut tidaklah berkorelasi dengan anggapan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU 6/2018. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 6 UU 6/2018 tidak beralasan menurut hukum," ujar Wahiduddin.

Penghargaan Wajib

Sementara tiga hakim konstitusi, yakni Aswanto, Saldi Isra, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait pertimbangan hukum uji materiil Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984. Menurut ketiganya, permohonan para Pemohon agar kata "dapat" dalam norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 menjadi kata "wajib" sehingga norma a quo adalah konstitusional sepanjang dimaknai "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penganggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya adalah beralasan menurut hukum.

Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat berbeda (dissenting opinion) tersebut menyebut rumusan norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 yang menjadi objek permohonan mengatur subjek khusus yang melaksanakan tugas untuk menanggulangi tidak dapat diposisikan sebagai norma yang berlaku bagi semua orang terlibat dalam memberikan pelayanan kesehatan di masa pandemi. Dalam hal ini, makna protecting public health in a general sense is not enough tanpa diikuti dengan obligation of States, terutama dalam menghadapi situasi pandemi.

Saldi menambahkan subjek khusus sebagai bentuk obligation of States dimaksud lebih ditujukan dengan frasa "para petugas tertentu" yang menjalankan tugas penanggulangan wabah meliputi, penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya penanggulangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 4/1984.

"Artinya, frasa a quo tidak ditujukan kepada semua petugas, melainkan hanya kepada mereka yang terdampak langsung dalam menanggulangi wabah. Ketika subjek yang dituju dalam norma a quo adalah subjek tertentu yang terdampak langsung dalam menanggulangi wabah, memahami kandungan norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 sebagai fakultatif terhadap petugas terdampak adalah bentuk nyata rendahnya komitmen negara memenuhi kewajiban yang dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945," terang Saldi.

Sebagai pekerjaan yang dapat menimbulkan resiko yang dapat saja mempertaruhkan nyawa, Saldi menyebut kebijakan berbentuk fakultatif atau diskresioner adalah kebijakan yang tidak menghargai derajat kemanusiaan. Mestinya dengan tingkat dan beban risiko yang dihadapi, kebijakan negara terhadap mereka yang terdampak karena melaksanakan penanggulangan wabah, termasuk wabah pandemi Covid-19, tidak dapat ditempatkan sebagai kebijakan yang bersifat pilihan dan harus bersifat imperatif.

"Sifat imperatif ini merupakan konsekuensi dari tanggung jawab negara dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya menyediakan pelayanan kesehatan yang layak bagi warga negara. Sekalipun pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan dalam menjalankan diskresi norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 dalam menghadapi pandemi Covid-19, harus tetap disadari bahwa kebijakan tersebut lahir dari norma yang bersifat fakultatif, bukanlah dari norma yang bersifat imperatif. Boleh jadi dan amat mungkin, dalam hal norma a quo dirumuskan dengan konstruksi imperatif, para petugas tertentu yang merasa terancam dengan dampak pandemi Covid-19 akan bekerja dalam suasana yang jauh nyaman karena lebih terlindungi," papar Saldi.

Usang

Kemudian Saldi menyampaikan merujuk pengesahan UU 4/1984, yaitu pada tanggal 22 Juni 1984, yang telah telah melewati 36 tahun, tentu tidak adaptif lagi terhadap perkembangan wabah penyakit menular serta tanggung jawab negara terhadap jaminan terhadap pelayanan kesehatan. Bahkan, jikalau dibaca secara saksama substansi UU 4/1984, peristilahan pandemi belum dikenal sama sekali. Selain itu, perihal tanggung jawab negara, UU 4/1984 belum menyentuh semangat tanggung jawab negara dalam jaminan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Tidak hanya itu, lanjut Saldi, semangat International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) bahwa States must realize the right to health not only within existingresources but 'to the maximum of its available resources' yang diratifikasi Indonesia pada 23 Februari 2006 pun belum optimal termaktub dalam UU 4/1984 terutama semangat dalam frasa 'to the maximum of its available resources' dimaksud.

"Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon agar kata 'dapat' dalam norma Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 menjadi kata "wajib" sehingga norma a quo adalah konstitusional sepanjang dimaknai "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penganggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya adalah beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, sebagai wujud konkret tanggung jawab negara sebagaimana dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, kami berpendapat, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan a quo sepanjang Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984," tandas Saldi.

Sebelumnya, Pemohon Perkara 36/PUU-XVIII/2020 ini menguji UU Wabah Penyakit Menular pada Pasal 9 ayat (1), "Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya".

Pemohon juga melakukan pengujian materiil UU Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 6, "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan".

Pemohon menegaskan, ada kewajiban pemerintah untuk menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang bertugas melawan Covid-19 sebagai perlindungan hukum yang adil dan tanggung jawab negara atas fasilitas kesehatan yang layak. Tingginya angka penularan Covid-19 yang terjadi saat ini, mengharuskan pemenuhan fasilitas kesehatan bagi tenaga kesehatan, terutama APD yang merupakan hal yang pokok harus didapatkan tenaga kesehatan dalam menangani pasien selama masa pandemi Covid-19.(UtamiArgawati/mkri.id/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Virus Corona
 
  Pemerintah Perlu Prioritaskan Keselamatan dan Kesehatan Rakyat terkait Kedatangan Turis China
  Pemerintah Cabut Kebijakan PPKM di Penghujung Tahun 2022
  Indonesia Tidak Terapkan Syarat Khusus terhadap Pelancong dari China
  Temuan BPK Soal Kejanggalan Proses Vaksinasi Jangan Dianggap Angin Lalu
  Pemerintah Umumkan Kebijakan Bebas Masker di Ruang atau Area Publik Ini
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2