JAKARTA, Berita HUKUM - Otto Cornelis Kaligis tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan terhadap ketentuan yang menjadi dasar hukum perlindungan terhadap tersangka dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Oleh karena itu, dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima permohonan Pemohon. Hal tersebut terungkap saat Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara No. 110/PUU-XIII/2015, Kamis (29/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Setahun lalu, OC Kaligis yang dijadikan tersangka atas kasus suap hakim PTUN Medan merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang menyatakan "Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka".
Pasal tersebut dianggap Pemohon tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai uraian hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Padahal menurut Pemohon, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut prinsip asas kepastian dan perlindungan, harus memberikan jaminan hak konstitusional terhadap seseorang yang masih berstatus sebagai tersangka.
Pengabaian dimaksud menurut Pemohon terjadi pada dirinya sehingga meninmbulkan kerugian hak konstitusional. Demi memperkuat dalinya, Pemohon menyampaikan fakta hukum yang terjadi saat itu. Bahwa pada saat ditahan di KPK, Pemohon melakukan pemeriksaan MRI pada 30 Juni 2015. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatankan pemeriksaan lebih lanjut untuk menghindari risiko kesehatan yang lebih parah. Lewat kasa hukumnya, Pemohon melayangkan surat permohonan penangguhan penahanan untuk pengobatan menyeluruh pada 27 Juli 2015. Namun, surat tersebut hingga saat permohonan diajukan ke MK tidak kunjung ditanggapi.
Kewenangan Penegak Hukum
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah menyatakan seorang tersangka dapat mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP.
Selain sudah diatur dalam KUHAP, penanggunah penahanan juga merupakan kewenangan instansi penegak hukum. Dalam kasus Pemohon, penangguhan penahanan merupakan kewenangan KPK untuk memberikan atau tidak memberikannya.
Mahkamah berpendapat, seperti yang disampaikan Hakim Konstitusi Aswanto, apabila instansi penegak hukum memiliki alasan subjektif maupun objektif untuk memberikan atau tidak memberikan penangguhan penahanan kepada tersangka, hal tersebut tidaklah bertentangan dengan hak tersangka yang tercantum dalam KUHAP. Memberikan atau tidak memberikan penangguhan penahanan merupakan tugas dan wewenang penegak hukum, dalam hal ini KPK. Apabila Pasal 46 ayat (2) UU KPK dianggap bertentangan dengan UUD 1945, lanjut Aswanto, justru akan merugikan hak-hak tersangka. Sebab, pasal tersebut merupakan dasar hukum dalam perlindungan terhadap tersangka tindak pidana korupsi dalam memenuhi hak-haknya.
Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional apa pun akibat berlakunya Pasal 46 ayat (2) UU KPK. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Bahkan, seandainya Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), Pasal 46 ayat (2) UU KPK telah nyata tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, Pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman sembari menegaskan bahwa Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima permohonan Pemohon.(YustiNurulAgustin/lul/MK/bh/sya) |