JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme). Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Andaipun memiliki kedudukan hukum, permohonan yang diajukan bersifat kabur.
Faisal Alhaq Harahap dan Muhammad Raditio Jati Utomo, selaku Pemohon merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka melakukan uji materiil terkait definisi dan motif terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 UU Terorisme. Pemohon menyatakan definisi terorisme sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) khususnya frasa "dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan" dapat menjadi alat bagi pemegang kekuasaan atau rezim untuk melakukan kriminalisasi. Pemohon melanjutkan frasa tersebut dapat digunakan untuk memberangus dan mendakwa suatu gerakan yang sebenarnya tidak termasuk gerakan terorisme. Selain itu, Pemohon juga memandang pasal yang diujikan mempersempit upaya pemberantasan terorisme, sebab motif seseorang melakukan tindakan terorisme tidak hanya terbatas kepada definisi motif yang ada di dalam UU Terorisme, namun bisa juga berbagai motif lainnya.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membaca pertimbangan hukum, menyebut Pemohon perlu membuktikan dirinya mengalami kerugian dengan berlakunya pasal yang diujikan. Hal ini telah dinasihatkan oleh Panel Hakim pada sidang pemeriksaan pendahuluan. Mengenai kerugian konstitusional dan/atau potensi kerugian konstitusional para Pemohon, kata dia, Mahkamah tidak menemukan dalam perbaikan permohonan uraian mengenai kerugian konstitusional seperti apa yang potensial akan dialami para Pemohon dengan berlakunya ketentuan tersebut.
"Pemohon hanya mendalilkan dirinya sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, tidak dijelaskan apa kaitan Mahasiswa Universitas Indonesia dengan persoalan konstitusionalitas norma dalam definisi terorisme yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018," jelasnya dalam Perkara Nomor 73/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pemohon, tambah Arief, hanya menyebutkan memiliki hak-hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapat kepastian hukum yang adil dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapat pendidikan yang mencerdaskan. Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut kerugian seperti apa yang para Pemohon alami. "Kalaupun ada kerugian yang para Pemohon alami, namun tidak pula dijelaskan apa kaitannya kerugian dimaksud dengan berlakunya norma dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018," tegasnya dalam pembacaan putusan pada Rabu (12/12).
Selain itu, lanjut Arief, Pemohon menyampaikan diri sebagai aktivis organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang kegiatannya potensial dikualifikasikan sebagai kegiatan yang dimaksud dalam definisi terorisme dalam pasal yang diuji. Terhadap pernyataan ini, Mahkamah dalam persidangan pendahuluan meminta Pemohon untuk menguraikan lebih jelas mengenai keterlibatannya dalam organisasi dimaksud pada perbaikan permohonannya. Selain itu MK meminta melampirkan bukti keanggotaan Pemohon dengan organisasi tersebut.
"Sayangnya Pemohon memperbaiki permohonannya dengan tidak lagi mencantumkan dalam uraian kedudukan hukumnya bahwa Pemohon adalah aktivis organisasi mahasiswa dimaksud. Juga tidak pula terdapat bukti yang meyakinkan bahwa para Pemohon melakukan aktivitas yang dapat dikualifikasikan sebagai kegiatan terorisme sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/2018," tandas Arief.(ArifSatriantoro/LA/MK/bh/sya) |