JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan aturan untuk pekerja waktu tertentu atau kontrak (outsourcing) dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau bersyarat
"Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada,” kata Ketua MK Mahfud MD dalam perisdangan yang berlangsung di gedung MK, Jakarta, Selasa (17/1).
Mahkamah juga menyebutkan bahwa hal tidak memiliki kekuatan hukum, meski terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. “Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Permohonan uji material (judicial review) ini diajukan Ketua Umum DPP Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML) Indonesia Didik Suprijadi yang bertindak atas nama AP2ML.
Seperti dikutip laman resmi MK, dalam putusannya tersebut, Mahkamah juga menyatakan bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.
“Untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja, maka perusahaan pemberi kerja tersebut harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Nomor 13/2003,” tulis Mahkamah dalam putusanya.
Adapun Pasal 65 (7) UU Ketenagakerjaan tersebut berbunyi, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.”
Sedangkan Pasal 66 (2) huruf b UU Ketenagakaerjaan menyebutkan, “Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: … b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.”
Mengenai aturan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang juga diuji oleh pemohon, menurut Mahkamah, jenis perjanjian kerja yang dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan tidak berlangsung untuk selamanya, sehingga hubungan kerja antara buruh dan majikan akan berakhir begitu jangka waktu berakhir atau ketika pekerjaan telah selesai dikerjakan. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan itu tidak bertentangan dengan Konstitusi.
“Lagi pula, jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 59 UU a quo hal itu merupakan persoalan implementasi dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang dapat diajukan gugatan secara perdata ke peradilan lain,” ujar Mahkamah.
Untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh yang dalam keadaan lemah, karena banyaknya pencari kerja di Indonesia, peran Pemerintah menjadi sangat penting untuk mengawasi terjadinya penyalahgunaan ketentuan Pasal 59 UU a quo, misalnya melakukan PKWT dengan pekerja/buruh, padahal jenis dan sifat pekerjaannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan UU.
Pada intinya, menurut Mahkamah, pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh,” tegas Mahkamah. (mkg/iwmr)
|