JAKARTA, Berita HUKUM - Pada pekan di awal bulan Agustus 2015, tepatnya hari Senin (3/8), Guru Besar Universitas Indonesia Prof Dr Sri Edi Swasono yang dihadirkan Pemohon sebagai Ahli dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) di ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengutarakan, "Penegasan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor 18 Tahun 1998 adalah bersifat deklaratif, bukan TAP MPR yang bersifat final."
Beliau memaparkan bahwa TAP MPR Nomor 18 tahun 1998 yang di dalamnya terdapat penegasan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah dilumpuhkan dengan TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003. Dan menekankan TAP MPR nomor 1 tahun 2003 adalah mandat dan amanat daripada UUD, TAP ini perlu untuk dikaji." dalam sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 59/PUU-XIII/2015 di ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (3/8).
Permohonan ini diajukan oleh Yudi Latief, Adhie M. Massardi, Ratna Sarumpaet, dkk serta perseorangan warga negara Indonesia yang mempunyai program demokrasi musyawarah Indonesia. Maksud dan tujuan program ini adalah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena para pemohon merasa dirugikan pada Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 telah menghilangkan ketentuan formal yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 menyatakan:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Menurut para Pemohon, hal ini dapat terjadi karena isi dari TAP MPR Nomor I Tahun 2003, khususnya dalam Pasal 6 angka 91 telah menempatkan TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 sebagai TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai di laksanakan. Padahal penetapan Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998. Untuk itu, Pemohon menilai ketentuan formal yang menetapkan pancasila sebagai dasar negara telah hilang karena penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3.
"Ini akan lebih sulit lagi, kenapa sesungguhnya kita harus mempersiapkan diri, dimana dihapus dan kami merasa rancu mana yang sesuai dan mana yang sudah tidak sesuai lagi dengan Pancasila," kata Sri Edi Swasono yang pernah menjadi anggota MPR ini, di hadapan Majelis dan ketua Hakim Konstitusi.
Pancasila merupakan perangai tentang apa itu Indonesia, menurutnya, sedemikian pentingnya Pancasila hingga dapat dikatakan, bila tidak ada Pancasila, maka tidak ada Indonesia. “Pancasila adalah ruh eksistensial Indonesia,” tegasnya kembali.
"MK diberikan kewenangan Constitusional Corporate, Kami akan memperjelas lebih ke teknis yuridiksinya dengan menyampaikan pada orang ahli pada kesempatan berikutnya," jelasnya, dimana nanti dalam sidang selanjutnya pada hari rabu 12 Agustus 2015 pukul 15.00 Wib juga akan dihadirkan saksi Ahli.
Sementara itu, salah satu Pemohon, Trijono Hardjono mengungkapkan, "nantinya kita juga menyampaikan untuk direkomendasikan kepada MPR untuk melakukan parlemen review. TAP MPR no: 1 tahun 2003 harus dievaluasi oleh MPR yang sekarang, karena faktanya pada pasal 1-6, diberlakukan ketentuan temporal conditional," ujarnya, selepas dari ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/8).
"Hal-hal yang menjadi temporal conditional tersebut namun telah berubah, dimana secara faktual telah berubah. kontektualnya tidak mendasar. Maka itu kita ingin dikoreksi, selain materi formal. Kita juga ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat luas bahwa Keadaan yang morat marit ini karena kita lupa, kita punya Pancasila." ungkap Triyono yang juga sebagai aktivis yang bergerak di bidang hukum di Surabaya, khususnya bergerak di bidang empowering hukum bagi masyarakat.(bh/mnd)
|