JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terkait mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, dalam sidang pengujian Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Perkenankan saya yang mulia, menjelaskan materi tentang Short Message Service (SMS). Jaringan seluler tidak imun (kebal) dari intervensi dari luar. SMS yang dikirim tersimpan di 4 tempat, 1 di handphone pengguna, 2 di operator, 3 operator pengguna yang dituju, dan 4 di operator pengguna yang dituju," kata saksi ahli dan pakar Informasi Teknologi (IT) dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, Selasa (4/6) di ruangan sidang lantai 2 gedung MK, jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Sebagaimana diketahui, Antasari Azhar dijerat dalam kasus kematian Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen, sebelum pengusaha tersebut tewas ditembak. Antasari dituduh mengirimkan SMS bernada ancaman, dan menurut pihak Kepolisian mengungkap bahwa SMS itu dikirim Antasari kepada Nasrudin.
Antasari hingga saat ini pun mengaku tidak pernah mengancam seperti yang dituduhkan kepadanya, dan pada bulan Agustus 2011, Antasari melaporkan dugaan seseorang mengirim SMS ancaman menggunakan telepon seluler miliknya ke Mabes Polri. Antasari berharap saat itu, polisi akan mengusut kasus dugaan pelanggaran UU ITE itu dengan menemukan pelakunya.
Dari pantauan BeritaHUKUM.com, pakar IT Agung Harsoyo dalam persidangan tersebut mengungkapkan bahwa perkembangan dunia informasi bisa disalahgunakan. "Selama informasi itu masih ada, dapat diurai diteliti kembali, catatan yang ada di operator bisa diperiksa kembali. Namun memang tidak ada bukti catatan bahwa Antasari mengirim SMS ke Nasrudin Zulkarnaen. Teknologi informasi dapat disalahgunakan dalam permasalahan hukum," terang Agung.
Sementara itu, saksi ahli kedua yaitu pakar hukum pidana Prof. Romli Atmasasmita, mengatakan bahwa Peninjauan Kembali atau PK, sesungguhnya bisa dilakukan lebih dari sekali.
"PK bertujuan keadilan, PK bukan kewajiban tapi hak terpidana. Sifatnya luar biasa. Semua jelas bahwa ada ketidakbebasan hukum dari persoalan maupun pengaruh politik. Kasus Antasari seharusnya dipahami, karena konteksnya bukan konteks hukum nurani," kata Prof Romli di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Selain itu dalam pemaparannya terkait persoalan ketidakbebasan hukum yang tak lepas dari intervensi ataupun intrik kepentingan, bisa diambil contoh pada kasus Prita Mulya Sari, Mochtar Pakpahan dan kasus lainnya.
"Elit di Indonesia belum memahami bahwa Indonesia didesain berdasarkan hukum moral. Keadilan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, namun kepastian hukum adalah sebaliknya. Kepastian hukum tidak identik dengan Keadilan," tutur Romli.
Guru Besar Fakultas Hukum UNPAD ini menyatakan bahwa ada keragu-raguan dalam hal pembatasan PK, dan kebebasan Antasari tidak akan tergantikan.
"Pasal 263 dan pasal 268 memang kontradiksi. Semacam ada keragu-raguan pembatasan PK. Keberadaan materi bukanlah suatu keadilan, harus berdasarkan norma-norma. Antasari Azhar tengah mengusut kasus BI yang melibatkan besan SBY, dan terkait Pemilu 2009. Kebebasan antasari tidak akan tergantikan oleh materiil maupun imateriil," ujar Romli.
Terlihat Antasari nampak duduk tenang di samping kuasa hukumnya Boyamin Saiman, dimana keberadaan mereka guna menggugat ketentuan pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi: Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Dan telah umum diketahui bahwa mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut masih menjalani masa tahanan 18 tahun penjara.
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menyayangkan ketidakhadiran Anggota DPR yang sebelumnya mengatakan pasti akan hadir. "Gimana ini DPR kita, katanya pasti mau hadir," celoteh Akil, yang didampingi 8 Hakim Konstitusi lainnya yaitu Hakim Harjono, Achmad Sodiki, Hamdan Zoelfa, Ahmad Fadhil, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Arief Hidayat dan Muhammad Alim.(bhc/mdb) |