JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE), pada Senin (26/10) siang.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic F. Foekh, Rizky Yudha selaku kuasa hukum pemohon mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada persidangan sebelumnya. Ia mengatakan, pihaknya mengganti surat kuasa yang sebelumnya berisi 22 kuasa hukum pada perbaikan menjadi 19 kuasa.
Kemudian, lanjut Rizky, perbaikan dilakukan pada kewenangan MK dengan menambahkan kewenangan berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah UU Nomor 15 Tahun 2019 yang berisi di dalam suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pengujiannya dilakukan MK. "Poin selanjutnya yang menjadi perubahan perbaikan pada permohonan ini yaitu terkait legal standing," ujarnya.
Baca juga: Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Rizky menyebutkan bahwa pada legal standing, pihaknya mempertegas Pemohon I yang merupakan warga negara Indonesia yang mana berdasarkan pasal 51 ayat (1) UU MK pihak yang berhak menjadi pemohon yang dapat mengajukan pengujian. Adapun kerugian yang dialami dipertegas yang terdapat pada poin 6 yakni adanya surat dari pihak pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (kemenkominfo) yang berisi memutus akses situs suarapapua.com yang mana salah satu kontributornya adalah pemohon I yang aktif menulis berita dan mengisi konten dalam situs tersebut. Ia mengatakan, pemutusan tersebut dilakukan dengan alasan adanya informasi yang dianggap melanggar hukum. Oleh karena itu, pemohon I jelas mengalami kerugian hak konstitusional secara spesifik dan aktual yaitu hak atas informasi yang dijamin pasal 28f UUD 1945.
Selanjutnya, Rizky mempertegas kembali terkait kerugian komstitusional Pemohon II yang berpotensi dialami. Pemohon II merupakan sebuah badan hukum privat yang berupa perkumpulan berdasarkan Anggaran Dasar Aliansi Jurnalis Independen yang menyatakan visi dan misinya pada pasal 9 dan pasal 10 di AD/ART. Untuk menjalankan visi dan misinya, Pemohon II melakukan advokasi yang bertujuan terciptanya kebebasan pers dan pemenuhan hak publik atas informasi melalui situs elektronik yang beralamat di https://aji.or.id/. "Selanjutnya pada alasan permohonan, terdapat perubahan norma pasal-pasal yang menjadi batu uji," jelasnya.
Rizky menambahkan adapun batu uji, yakni pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28f. Selain itu, argumentasi-argumentasi para pemohon yang melandasi diajukannya permohonan a quo. Ia mengatakan, norma pasal 40 ayat (2b) UU ITE bertentangan dengan jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dimaksud pada pasal 28D ayat (1).
"Penambahan argumentasi terdapat pada poin 2 yang menyatakan kepastian hukum dan perlakuan sama di hadapan hukum merupakan salah satu ciri pokok dari negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum" dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tidak bisa ditiadakan dari negara hukum. Sehingga seluruh peraturan perundang-undangan haruslah disusun dan dibentuk dengan menjadikan legalitas, prediktabilitas dan transparansi sebagai salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan," papar Rizky.
Sementara pada petitum, menyatakan pasal 40 ayat (2b) UU ITE dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan pasal 1 ayat (3), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28F UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggaraan sistem elektronik setelah mengeluarkan keputusan admimistrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadao informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi.
Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah. Ia menegaskan, bahwa kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law.
Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(Utami Argawati/MK/bh/sya) |