Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
HAM
Putusan PTUN Jakarta Kasus Semanggi, Jamdatun: Tidak Sesuai Fakta dan Peraturan Perundang-undangan
2020-11-06 13:14:33
 

Jamdatun Feri Wibisono (tengah) didampingi Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono dan Direktur Tata Usaha Negara, Jamdatun Andi Herman.(Foto: BH /ams)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono didampingi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia Hari Setiyono dan Direktur Tata Usaha Negara pada Jamdatun Andi Herman melakukan klasifikasi serta tanggapan terkait putusan PTUN Jakarta No: 99/G/TUN/2020/PTUN.JKT tanggal 4 November 2020. Karena menurutnya putusan tersebut tidak tepat.

Menurut Feri, perkara dengan Penggugat I, Sumarsih dan Penggugat II, Ho Kim Ngo melawan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai Tergugat ini, telah diputus oleh hakim PTUN Jakarta yang amar putusannya menyatakan eksepsi tergugat tidak diterima.

"Dalam Eksepsi, menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Sedangkan dalam pokok Perkara, Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya. Serta menyatakan tindakan pemerintah berupa penyampaian tergugat dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada 16 Januari 2020 lalu, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II itu, bukan merupakan pelanggaran HAM berat," ujarnya di Kejaksaan Agung pada, Kamis (5/11).

Dalam putusan itu juga kata Feri menyatakan bahwa, hasil rapat menyatakan seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjutinya, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan atau pejabat pemerintahan.

Selain itu, mewajibkan Tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan / keputusan yang menyatakan sebaliknya. Serta menghukum tergugat membayar biaya perkara.

"Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.285 ribu" ucap Feri seraya mengatakan atas putusan Pengadilan TUN tersebut, Tim JPN sudah mempelajari putusan dan akan melakukan upaya hukum.

Namun pihak Jamdatun terlebih dahulu akan menjelaskan terkait putusan tersebut kepada awak media, agar dapat memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat. Karena menurut Feri pertimbangan dalam putusan PTUN tersebut tidak sesuai dengan fakta dan peraturan perundang-undangan.

"Pertama, putusan PTUN Jakarta keliru dalam memberikan pertimbangan hukum. Bahwa tindakan Jaksa Agung dalam menginformasikan perbuatan tersebut belum konkret, sebagaimana yang ditentukan dalam Perma No. 2 Tahun 2019, karena informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan DPR RI tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2019," jelasnya.

Selain itu menurut Feri dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 93-95, ada kesalahan dalam putusan PTUN tersebut, sebab ucapan atau pernyataan Jaksa Agung RI yang memberikan informasi bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

"Jika pernyataan dan jawaban pada Rapat Kerja - DPR dikategorikan Tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan, maka akan banyak pernyataan / jawaban yang merupakan objek sengketa TUN," imbuhnya.

"Kedua, syarat ‘Kepentingan Penggugat’ dalam gugatan TUN tersebut tidak tepat. Berdasarkan prinsip point d‘interest point d’action dan ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, kepentingan Penggugat (orang tua korban) adalah pada Penanganan Perkara HAM Berat bukan pada proses Jawab Menjawab dalam Rapat Kerja DPR," ungkapnya.

Oleh karena itu orang tua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR tersebut.

"Ketiga, penggugat belum memenuhi kewajiban melakukan ‘banding administratif’ lebih dahulu

Berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Karena sebelum melakukan gugatan, seharusnya Penggugat melakukan upaya banding administrasi terlebih dahulu kepada atasan pejabat pembuat keputusan secara tertulis," tegasnya.

Putusan PTUN Jakarta kata Feri juga mengabaikan bukti keterangan Ahli Prof Dr Gede Pantja Astawa yang telah diajukan didalam persidangan berdasarkan surat terbuka yang diajukan pada Maret 2020 kepada Presiden.

Isinya permintaan penanganan permasalah HAM Berat secara keseluruhan tidak dapat dikategorikan banding administrative, yang tertuju kepada pernyataan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja DPR sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.

Putusan Keliru

"Majelis Hakim keliru membuat pertimbangan dalam putusan PTUN halaman 113 - 114, pada intinya menyebutkan bahwa tindakan Tergugat sebagaimana yang dimaksud objek sengketa, adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya Tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap dan menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik," ucapnya seraya mengatakan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Nah, kata Feri pertimbangan hukum tersebut jelas telah keliru karena, pertama PTUN Jakarta mengabaikan bukti T-10.b berupa video rekaman dalam rapat kerja komisi III DPR RI beserta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Tergugat.

Kedua, Majelis Hakim PTUN lalai tidak menilai bukti T-10.b berupa video rekaman dalam rapat kerja komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020. Ketiga dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa Agung yang menyatakan, seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," imbuhnya.

Keempat, dalam video rekaman Jaksa Agung RI telah menguraikan atau menjelaskan proses penyelidikan, kendala dan penyebab bolak balik berkas perkara antara Komnas Ham dengan Kejaksaan.

Oleh karena itu penyampaian Jaksa Agung RI di dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI tersebut kata Feri tidak melanggar asas kecermatan. Karena penyampaian informasi yang disampaikan oleh Jaksa Agung berkaitan dengan penanganan dugaan pelanggaran HAM Berat masa lalu yang salah satunya kasus semanggi 1 dan 2 berdasarkan Laporan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

"Semanggi I dan Semanggi II pada Rapat Bamus tanggal 28 Juni 2001 (bukti T-4) dan Laporan Panitia Khusus DPR RI mengenai Kasus Trisakti. Semanggi I dan Semanggi II pada Rapat Paripurna Dewan Tanggal 9 Juli 2001itu, bukan merupakan suatu tindakan pemerintah apalagi keputusan pemerintah yang dapat digugat ke PTUN," tandasnya.

Selain itu, PTUN Jakarta memberikan petusan yang melanggar ketentuan hukum. Karena dalam pertimbangan hakim PTUN Jakarta di halaman 115 tersebut lalai, karena tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar.

"Sehingga mengkualifikasikan penjelasan Jaksa Agung didalam Rapat dengar Pendapat tersebut sebagai tindakan pememrintah yang cacat substansi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. pasal 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan," pungkasnya.(bh/ams)



 
   Berita Terkait > HAM
 
  Prabowo Subianto Ditantang Minta Maaf ke Publik Soal Dugaan Pelanggaran HAM Masa Lalu
  Jokowi: Dengan Pikiran Jernih Saya Mengakui Pelanggaran HAM Berat Memang Terjadi
  Pemerintah Indonesia Diminta Tanggapi Serius Tuduhan Pelanggaran HAM dalam Aplikasi Pedulilindungi
  Polri Gelar Lomba Orasi Unjuk Rasa Peringati Hari HAM
  Barikade '98 Desak Pemerintah Tuntaskan Kejahatan HAM 1998 dan Kasus Korupsi
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2