JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Adakah proses mencurigakan dalam mempailitkan PT Hendratna Plywood? Dimana, nilai aset yang dilelangkan berupa tanah seluas 24.985 meter persegi itu turun drastis 75% dari harga pasaran.
Hal itulah, yang menjadi dasar pemilik Hedratna Plywood, Noor Hendratno mengajukan gugatan kepada PT Bank Permata, selaku Debitor yang melelangkan asetnya.
Menurut Kuasa Hukum Hedratna Plywood, Hakim Torong, bahwa proses pelelangan aset dan penurunan nilai aset hingga 75% dari tahun 2008 ke tahun 2010 sangat merugikan kliennya dan dianggap tidak fair. “Jadi yang paling krusial itu, perbedaan harga dalam proses lelangnya, bagaimana mungkin nilai aset bisa berkurang drastis hanya dalam waktu 2 tahun” ujarnya saat ditemui wartawan sebelum persidangan di Pengadilan niaga, Jakarta Pusat, Kamis (5/7).
Dimana laporan Appraisal (penilai aset.red) yang ditunjuk Bank Permata. Yaitu kantor Penilaian Publik Arief dan rekan, menetapkan nilai harga limit sebesar Rp 41 miliar. "Padahal, pada tahun 2008 penilaian yang dilakukan Moch. Arief MW, SE sebesar 218 miliar," tambahnya.
"Yang lebih mengherankan, alamat kantor Appraisal sama hanya nama kantornya yang berbeda," imbuh Hakim.
Untuk itu, Hakim meminta keadilan untuk kliennya, agar mendapatkan harga yang pantas. "Kalo beginikan, klien saya tidak dapat apa-apa, meski sudah dipailitkan,"katanya.
Selain itu, pada saat proses pengajuan pailit, ternyata pihak pemohon ada hubungan hukum dengan kurator. "Yang lebih mengherankan, kenapa istri pihak kuasa pemohon yang ditunjuk sebagai kurator. Padahal sesuai UU kepailitan kurator tidak boleh memiliki hubungan hukum dengan pihak pemohon," ungkap Hakim.
Sekedar informasi, sengketa ini mulai bergulir ketika perusahaan yang bergerak di bidang kayu lapis itu digugat Pailit oleh mitranya, PT Ocean Global Shipping (OGS) dan PT Samudra Naga Global (SNG) di Pengadilan Niaga yang berada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada awal 2010 lalu.
Gugatan ini dimohonkan karena penggugat menganggap Hendratna memiliki “utang” yang telah jatuh tempo dari kedua perusahaan jasa angkutan tersebut. Padahal, yang dianggap “utang” Hendratna itu berupa tagihan bill of lading (BL) dari OGS ketika mengirim barang dengan tujuan dari Banjarmasin ke Felixstowe (United Kingdom, England) pada 2 Januari 2008 senilai US$20.300. Sama halnya dengan tagihan BL dari SNG, yakni berupa jasa pengangkutan barang dengan tujuan dari Banjarmasin ke Singapore selama Januari – April 2008 dengan total utang US$2.870.
Di tengah proses persidangan Pailit berlangsung tersebut, Hendratna telah melunasi semua utang SNG sebesar US$2.870. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Niaga tidak mengakui pelunasan itu dan tetap memvonis Hendratna pailit pada 7 April 2010 dan sekaligus menunjuk kurator Endang Srikarti Handayani. Yang merupakan istri Kuasa Hukum pemohon.
Tidak puas putusan pailit itu, Hendratna pun menempuh upaya hukum kasasi namun lagi-lagi permohonannya itu ditolak MA.
Sebelum upaya hukum Luar Biasa PK yang telah diajukan pada 28 Januari 2011 lalu, Hendratna mengajukan permohonan pergantian kurator Endang Srikarti yang dinilai tidak independen, karena ketahuan masih ada hubungan keluarga (suami-istri) dari pihak Pengacara salah satu Penggugat. Permohonan pergantian kurator ini lantas dikabulkan Majelis Hakim pengawas dengan menunjuk kurator pengganti Safitri Hariyani Saptogino.
Dan sidang pun masih berlanjut, saat ini saja sudah 20 kali sidang yang sudah digelar. Kali ini adalah sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. (bhc/biz) |