Mengawali Perenungan Saya:
Sebagai Pengantar dalam perenungan ini perlu dimaknai bahwa dalam nilai-nilai dasar yang terdapat dalam hukum (Radbruch) terbangun Rasa keadilan dimana hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan sehingga hukum dan keadilan merupakan dua hal yang tak terpisahkan.
Dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat).
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur: Kepastian hukum (rechtssicherkeit), Kemanfaatan hukum (zeweckmassigkeit), Jaminan hukum (doelmatigkeit), serta Keadilan hukum (gerechtigkeit) (Dardji Darmodihardjo, 2002: 36).
Dalam perlajalan Filsafat hukum dibutuhkan menelusuri seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Dimana sering terjadi Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Sebagai kenyataan sosial fenomena pelecehan terhadap hukum semakin tak terelakan lagi pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara diputuskan dengan Undang-Undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah “mafia peradilan” (Bismar Siregar, 1989: 78).
Sebagai Dasar Dalam Perenungan Saya:
Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Mengenai fungsi Filsafat Hukum, Roscoe Pound (1972: 3) menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selama-lamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi.
Suatu usaha untuk melakukan pemecahan menggunakan sistem hukum yang berlaku pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih tinggi. Filsafat hukum memberikan uraian yang rasional mengenai hukum sebagai upaya untuk memenuhi perkembangan hukum secara universal untuk menjamin kelangsungan di masa depan. Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan (a). tujuan-tujuan masyarakat, (b) masalah-masalah hak asasi, (c) kodrat alam (Leon Duguit, 1919: 47). Sedangkan keadilan yang mana hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. sehingga oleh Aristoteles dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu : 1). Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. 2). Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing. Dengan demikian Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Hasil Dalam Perenungan Saya :
Sebagai inti dalam perenungan ini ada hal yang menjadi esensi bagi saya yaitu bahwa Filsafat Hukum bertolak dari renungan manusia yang inovatif, sebagai “subjek Hukum”, dunia hukum hanya ada dalam dunia manusia. Filsafat hukum tak lepas dari manusia selaku subjek hukum maupun subjek filsafat, sebab manusia membutuhkan hukum, dan hanya manusia yang mampu berfilsafat. Kepeloporan manusia ini menjadi jalan untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan mengukur apakah sesuatu itu adil, benar, dan sah. Melaui paradoksi pemikiran inilah, maka dalam melihat keadilan secara teori sangatlah muda, namun mencari keadilan dalam kenyataanya sangatlah sukar, bahkan nilai kepastian hukum, kemanfaatan hukum, serta jaminan hukum, belum tentu manembus rasa keadilan setiap manusia (individu dan kelompok) karena sangat relative dan bastrak.
Olehnya itu untuk memahami esensi keadilan yang sesungguhnya adalah mutlak milik Tuhan Semata. Namun demikian dalam mencari sebuah keadilan bagi kehidupan manusia diperlukan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Oleh karena itu menurut saya dalam mencari keadilan, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
Dengan demikian Keadilan harus didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai keadilan tersebut berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai keadilan terkodifikasi dengan makna terbatas, serta tidaklah keadilan prosedur yang didapat melalui berbagai macam prosedur-prosedur yang terkadang mencederai dari pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Dalam kenyataan di Indonesia saat ini sebagai solusi yang dapat saya sampaikan dalam perenungan ini bahwa keadilan yang sesungguhnya adalah berasal dalam diri setiap inidividu yang mana ditempatkan dalam pilihan menerima, menolak, srta menerima sebagian dengan meneolak sebagian dari sebuah justifiksi hukum terhadap individu.
Oleh karena itu, maka setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus dijamin dan dilindungi melalui pengundangan yang baik dan didukung oleh instani penegak hukum independen dengan mutu sumber daya yang terukur, jujur dan bijaksana, sehingga dapat membangun atau melahirkan sebuah keputusan hukum sebagai rangsangan atau pendorong keinginan (nilai abstrak/rasa keadilan) individu untuk menerima dari pada sebuah kenyataan hukum yang diputuskan kepadanya.
Sebagai kata kunci dari perenungan saya ini adalah: “bahwa keadilan janganlah dicari karena rasa keadilan itu ada dalam diri kita sendiri”. |