JAKARTA, Berita HUKUM - Mantan Menteri Hukum dan HAM Kabinet Gotong Royong sekaligus Calon Presiden dari Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra hadir dalam sidang kedua perkara Pengujian Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Senin (3/1). Pada sidang kali ini, Yusril menyampaikan poin-poin perbaikan dalam permohonannya di hadapan panel hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Setelah mencermati saran-saran dari panel hakim dalam sidang pendahuluan dan mengamati perkembangan terkait putusan MK mengenai Pemilu serentak untuk tahun 2019,Yusril mengatakan telah melakukan beberapa penambahan. Salah satu penambahan yang ia lakukan yakni tentang argumentasi permohonannya tidak nebis in idem dengan putusan perkara No. 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali.
“Permohonan ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Pemohon (Yusril, red) merujuk kepada berbagai peraturan perundang-undangan termasuk PMK yang menyatakan pasal-pasal yang sudah diajukan memiliki batu uji dan argumen yang berbeda maka tidak bisa disebut perkara nebis in idem,” jelas Yusril.
Yusril juga mengatakan bahwa permohonan perkara-perkara sebelumnya tidak ada yang secara spesifik mengajukan permohonan mengenai ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Yusril juga memastikan petitum permohonannya berbeda dengan yang diajukan Effendi Gazali.
“Permohonan Saudara Effendi berhenti pada titik memohon kepada Mahkamah agar pasal-pasal yang diuji dalam UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Tidak ada di dalam permohonan Saudara Effendi Gazali memohon kepada Mahkamah untuk pemilu disatukan. Tidak ada. Begitu pula dalam diktum putusan Mahkamah, tidak ada Mahkamah menyatakan Pemilu disatukan,” papar Yusril yakin.
Selain itu, Yusril pun yakin bahwa putusan Mahkamah seharusnya berlaku dan mengikat seketika setelah dibacakan. Maka dari itu, Yusril menganggap putusan Mahkamah No. 14/PUU-XI/2013 lalu tidak lazim. Menurutnya, peraturan perundang-undangan bisa baru berlaku surut ke belakang atau berlaku di waktu mendatang. Namun, putusan pengadilan, apalagi putusan MK tidak bisa berlaku di kemudian hari.
“Sekiranya permohonan kami dikabulkan dan Mahkamah menafsirkan langsung Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E maka tidak seperti permohonan Effendi Gazali yang setelah diputus bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun masih menimbulkan kevakuman hukum dan meminta DPR membentuk UU baru untuk Pemilu 2019. Kami meminta putusan Mahkamah nanti berlaku seketika dan Pemilu 2014 ini langsung menyatukan empat rezim pemilu tanpa perlu menunggu undang-undang baru, tanpa menunggu tahun 2019,” tukas Yusril membacakan petitum permohonannya yang telah diperbaiki.(yna/mh/mk/bhc/rby) |