JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Dalam sidang tersebut, para pemohon yang merupakan advokat anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menegaskan permohonannya tidak nebis in idem.
Muhammad Sholeh, salah satu Pemohon menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon. Namun, Pemohon menegaskan, meskipun pasal yang diuji sama, terdapat perbedaan dalam argumentasi hukum dan kerugian konstitusional.
“Pada permohonan sebelumnya mereka mendalilkan dirugikan terkait lulusan sarjana hukum rata-rata usia 22, maka kalau mau jadi advokat harus ada jeda waktu nunggu 3 tahun, sehingga itu digugat. Sementara dalam permohonan kita, kita ingin ada konstitusional bersyarat. Pasal ini sudah benar, tinggal pemaknaannya ada tambahan sehingga agak berbeda dengan permohonan sebelumnya,” jelas Sholeh dalam sidang perkara nomor 84/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (18/8).
Dalam permohonannya, Pemohon menegaskan banyak pensiunan polisi, pensiunan jaksa, dan pensiunan hakim yang menurut Pemohon sudah dianggap tidak cakap oleh negara. “Ketika dia pindah profesi dari polisi, dari jaksa, dari hakim tiba-tiba jadi advokat, itu tentu sangat merugikan Para Pemohon,” imbuhnya.
Pemohon menambahkan, kerugian lainnya adalah kedudukan Pemohon sebagai advokat dibandingkan dengan pensiunan polisi, pensiunan jaksa, dan pensiunan hakim yang tidak sama di depan para klien. Sebab, menurut Pemohon, para klien akan menganggap pensiunan polisi akan memudahkan klien memenangkan kasus ketika berurusan di kepolisian, begitu pula dengan pensiunan jaksa dan hakim. Padahal, Pemohon berpendapat, semestinya kedudukan advokat harus sama.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang dimaknai dengan “calon advokat, berusia minimal 25 tahun dan maksimal 40 tahun”.
Sebelumnya, Muhammad Sholeh dan Ruli Nugroho sebagai Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yang berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (d) berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.”
Menurut Para Pemohon, ketentuan tersebut hanya mengatur syarat minimal usia calon advokat tanpa menyebut usia maksimal. Tidak adanya batas usia maksimal membuat para pensiunan polisi, pensiunan jaksa, dan pensiunan hakim bisa menjadi advokat. Padahal, Pemohon menilai para pensiunan tersebut berpotensi masih memiliki konflik kepentingan dengan jajarannya dan membuatnya tidak independen.
“Ketika mereka menjadi advokat, mau tidak mau hubungan yang lama itu akan menjadikan posisi advokat tidak independen lagi. Berbeda dengan kita yang sejak awal menjadi advokat dari bawah, tentu akan mengedepankan profesionalitas,” papar Sholeh dalam sidang perdana, Selasa (4/8).(LuluHanifah/mk/bh/sya)
|