JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 5/PUU-XIII/2014 ini dimohonkan oleh Muhammad Thoha.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 21 juncto Pasal 22 ayat (2) UU Jabatan Notaris. Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris berbunyi“Notaris berwenang pula: f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Sedangkan Pasal 21 UU Jabatan Notaris menyebutkan “Menteri berwenang menentukan Formasi Jabatan Notaris pada daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan mempertimbangkan usul dari Organisasi Notaris. Sementara Pasal 22 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri”.
Thoha menjelaskan dirinya telah dinyatakan lulus ujian seleksi pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Tahun 2012 berdasarkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 912/KEP-17.3/XI/2013 tanggal 20 November 2013. Akan tetapi ketika pengajuan permohonan pengangkatan pejabat umum notaris yang diajukannya justru ditolak secara langsung oleh Customer Service Officer Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan alasan formasi terbatas. Padahal, menurut Pemohon, dalam Pasal 3 UU tersebut tidak menyebutkan bahwa formasi jabatan notaris merupakan persyaratan mutlak dan utama untuk dapat atau tidaknya seseorang diangkat sebagai notaris. “Atas keputusan ini, ketika saya akan meminta, tapi alasannya formasi terbatas. Kenapa permohonan notaris ditolak karena alasan terbatasnya formasi? Padahal notaris adalah jabatan yang tidak terbatas jumlahnya,” ujarnya.
Selain itu, Thoha menjelaskan kondisi ketidakterbukaan informasi atas perekrutan dan pengangkatan notaris di satu sisi, dapat menimbulkan kerawanan hukum. Adanya perbedaan penafsiran Pasal 15 ayat (2) UU Jabatan Notaris menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum atas wewenang jabatan notaris dalam bertugas. “Selain itu, hal ini menimbulkan adanya dualisme adanya pejabat umum PPAT dan notaris. Akan lebih baik jika dua jabatan ini disatukan,” ungkapnya.
Atas dasar alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta UU tersebut dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan kewenangan pejabat umum notaris mencakup pula tugas dan kewenangan jabatan pejabat umum pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum, yang antara lain sebagai berikut: a) Jual beli; b) Tikar menukar; c) Hibah; d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e) Pembagian hak bersama; f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g) Pemberian Hak Tanggungan; dan h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dengan didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan bagi Pemohon. Maria menjelaskan agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional permohonannya. Menurutnya, alasan permohonan Pemohon lebih terkait pada kasus konkret, bukan konstitusionalitas norma. “Perlu diketahui oleh Pemohon, bahwa Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas norma, bukan mengenai kasus konkret. Kemudian, harus dijelaskan hubungan pasal-pasal dalam UU jabatan Notaris merugikan anda dengan batu uji dari UUD 1945 yang Anda ajukan,” sarannya.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu perbaikan selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.(lla/mh/mk/bhc/rby) |