JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Prov. Sumatera Barat, Ismail mengatakan bahwa Pasal 244 No.8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal dengan KUHAP merupakan pasal yang ambigu, dan pasal yang multitafsir, karena jaksa dalam kenyataan kasasi mengartikan kata bebas adalah bebas murni dan bebas tidak murni.
“Kenyataannya hampir semua terdakwa berpendapat bahwa jaksa itu tidak boleh kasasi, namun sebaliknya jaksa pada kenyataannya kasasi mengartikan kata bebas itu bebas murni dan bebas tidak murni,” tutur Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 115/PUU-X/2012, A. Wirawan Adnan, pada Sidang Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, di Mahkamah Konstitusi, Jumat (30/11).
Ketentuan Pasal 244 UU tersebut menyebutkan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Menurut Ismail selaku Pemohon, frasa kecuali terhadap putusan bebas adalah sumber ketidakpastian hukum. Jika dihilangkan, kata dia, maka akan menimbulkan kepastian bagi masyarakat Indonesia. “Artinya, jika frasa tersebut dihilangkan dari bunyi Pasal 244 KUHAP, maka akan menjadi pasti bagi kita semua bahwa JPU (Jaksa Penuntut Umum) boleh kasasi,” ujar Adnan.
Lebih lanjut, Adnan menjelaskan, meskipun kemungkinan menguntungkan JPU, namun Pemohon akan mengartikan sebagai keuntungan jika berhasil menghilangkan ketidakpastian. “Sehingga memberikan jaminan bahwa pengadilan akan mendasarkan pada hukum yang pasti, bukan hukum yang mudah ditafsirkan berbeda oleh pihak pengadilan,” terangnya.
Oleh karena itu, Pemohon memohonkan kepada Mahkamah supaya Pasal 244 UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, dan menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas”. “Menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat atau conditionally constitutional, kecuali sepanjang diartikan dengan tegas bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dilarang kasasi atas dasar pasal ini dengan alasan apa pun termasuk alasan bebas murni maupun bebas tidak murni,” kata Adnan saat menjelaskan petitum permohonan Pemohon.
Pasal dengan UU yang sama juga diujikan oleh pensiunan Pegawai Negeri Sipil Idrus, dengan perkara 114/PUU-X/2012. Permohonan ke MK ini bermula, kata Idrus, saat dirinya dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Lubuksikaping, di Kab. Pasaman, Sumatera Barat bebas dari putusannya, namun oleh JPU pengadilan tersebut mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan pidana tertinggi tersebut, katanya, belum menjatuhkan putusan terhadap dirinya. “Sampai saat ini, Pemohon belum mendapatkan keputusan kasasi tersebut, hingga karier Pemohon terhenti,” terang Pemohon. Padahal, lanjut dia, kasasi tersebut diajukan tahun 2008, namun sampai sekarang belum menerima putusan dari MA.
Dengan belum mendapatkan kejelasan dari kasasi MA tersebut, Idrus menuturkan telah mendapat perlakuan diskriminatif dan ketidakpastian hukum oleh negara. “Pemohon mendapat perlakuan yang diskriminatif dan tidak adanya kepastian hukum, serta selalu mendapatkan perasaan was-was dalam kehidupan ini,” urai Pemohon dalam permohonannya.
Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan rumusan terhadap putusan bebas pada Pasal 244 UU No. 8/1981 tentang KUHAP harus diindahkan dan tidak bisa diganggu dengan dalil hukum apapun juga dan oleh siapapun juga, karena bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), dan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
Baik perkara 114/PUU-X/2012, maupun 115/PUU-X/2012, menerima sejumlah nasehat dari Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Muhammad Alim, didampingi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman, masing-masing anggota. Kemudian dari nasihat tersebut, Para Pemohon diberi waktu paling lama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.(su/mk/bhc/opn) |