JAKARTA, Berita HUKUM - Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U menyampaikan bahwa, KAHMI (Korps Alumni HMI) telah membahas dan akan membuat Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan Pemerintah 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas, jelas Mahfud MD pada para wartawan pasca sesi Diskusi Publik yang mengangkat tema "Selamatkan Keuangan Negara, Jangan Privatisasi BUMN kita" digelar di Hotel Luwansa, Rasuna Said, Kuningan. Jakarta Selatan, Senin (6/2).
Dalam sesi diskusi publik yang diadakan oleh Majelis Nasional KAHMI (Korps Alumni HMI) tersebut dihadiri oleh narasumber seperti; Faisal Basri (Ekonom), Agus Pambagio (Pakar Kebijakan Publik), Dr. Ahmad Redi (Pakar Hukum), Apung Widadi (Koordinator Fitra), Bisman Bhaktiar (Tim Hukum KAHMI), serta Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
"JR ke MA formatnya apa, maka perlu ada dua alternatif, uji formal dan uji material. Hukumnya diubah, hanya cara pengubahan hukum menurut Undang-undang harus sesuai dengan UU, tidak bisa kalau hanya dengan PP atau Kepres. Tidak bisa," tegas Mahfud MD.
Diketahui, bahwa Mahfud MD menceritakan kalau sebelumnya pernah diundang ke Watimpres, untuk membahas hal ini bersama dengan Jimly Asshiddiqie terakit mengenai apakah boleh Perusahaan itu di Holding menurut aturan hukum yang berlaku, termasuk telkom, transportasi, migas, dan sebagainya.
"Jawaban saya ketika itu simple aja, Boleh. Itu kan pemerintah," ungkapnya.
Namun, yang menjadi masalah atau pertanyaan di kalangan masyarakat soalnya, sambung Mahfud bahwa, akan ada BUMN-BUMN akan dijadikan menjadi 7 atau 6 kelompok, diantaranya adalah PGN, yang akan dijadikan dengan Pertamina. Hingga harus melalui produk yang setara. "Kenapa keluarnya PP? Itu bukan dalam pengaturan yang berbeda-beda, dimana menurut untuk PP, UU keuangan negara dan sebagainya," paparnya lagi menjelaskan.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011 itu menyebutkan sehingga perlu dibuat Undang-undang, dikarenakan berdasarkan prosedur itu salah. "Itu bisa dianggap penyalahgunaan keuangan negara, itu alasan pertama," ujar Mahfud.
Lalu kemudian secara substansinya, papar Mahfud yang menekankan, tentunya para ahli di bidang itu yang memahami. Di dalam diskusi sementara di KAHMI, tentu ada masalah, dimana di luar prosedure, dimana PP tidak boleh menyimpangi UU. "Ini menjadi 'substansi'nya dimana materinya bertentangan. PP ini bertentangan dengan UU nomor 12 tahun 2012, dimana bertentangan. Ini perlu mengubah payung hukumnya," tukasnya, menilai dimana ada indikasi pemborosan keuangan negara, hingga PP ini musti terlepas dari negara.
"Tujuannya, guna pengelolaan keuangan negara lebih tertib dan pembangunan bagi kita semua. Guna membersihkan negara dari praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Mudah mudahan lebih baik guna pengajuan secara prosedural dan konstitutif," terangnya.
Menurut pandangan Mahfud, bahwa Undang-undang hanya bisa diubah dengan UU yang lain tidak bisa dengan PP, apalagi undang-undangnya banyak, ada seperti UU BUMN, UU Keuangan Negara, Perseroan Terbatas. "Itu catatannya bisa diubah dengan
Undang-Undang, itu bila dipandang dari sudut prosedure. substansinya UUD pasal 33 itu saja," pungkas Mahfud MD.(bh/mnd)
|