JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Setelah menunggu hampir lima tahun, akhirnya revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), akhirnya bisa diselesaikan oleh DPR. Dengan telah dituntaskannya RUU tersebut, diharapkan dapat mengakhiri perseteruan antara KY dan Mahkamah Agung (MA) tersebut.
Harapan ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di Jakarta, Senin (10/10). Menurut dia, gesekan antarkedua lembaga ini sempat memprihatinkan. Tapi dengan telah selesaikan pembahasan RUU itu, gesekan tidak lagi terjadi. Kedua lembaga ini diharapkan bisa bersinergi dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya itu. "Saya berharap dengan disahkan RUU KY mampu mendamaikan kedua belah pihak," tandasnya.
Sebenarnya, jelas Mahfud, KY itu dibentuk dengan harapan agar ada lembaga peradilan itu lebih berwibawa. KY dapat mengawasi hakim-hakim MA untuk tetap menjunjung tinggi keadilan, tapi dalam pelaksanaannya justru malah menimbulkan perselisihan. “Pengesahan RUU menjadi UU itu merupakan babak baru, agar KY dan MA lebih bersinergi,” tandasnya.
Sebelumnya, dalam rapat pembahasan antara KY, MA, Pemerintah dan DPR pada Kamis (6/10) lalu, fraksi-fraksi yang ada di Komisi III DPR RI telah setuju dengan hasil revisi UU Nomor 22 Tahun 2004. Dalam UU hasil revisi itu, ada kewenangan baru KY soal kewenangan tentang bantuan penyadapan. Selain itu, juga ketentuan penjatuhan sanksi secara otomatis jika dalam waktu 60 hari tidak terjadi kesepahaman antara KY dan MA.
Minta Ditunda
Dalam kesmepatan terpisah, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendesak DPR menunda pengesahan RUU KY. Alasannya, ketentuan dalam RUU KY ini berpotensi menimbulkan konflik antara MA dan KY. Sejumlah pasal hasil revisi itu, dianggap kontraproduktif dengan upaya-upaya menemukan konsep pengawasan yang ideal sebagai bagian dari upaya menciptakan konsep peradilan yang independen, transparan dan akuntabel.
Menurut anggota koalisi dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dimas Prasidi, ada lima persoalan yang muncul dalam RUU KY itu. Hal itu antara lain, kewenangan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang tidak jelas. Sebab, hanya disebut melakukan pemeriksaan sehingga membingungkan dengan fungsi memberikan kesempatan pembelaan diri bagi hakim yang mendapat sanksi pemberhentian tetap.
Kedua, kewenangan KY menyeleksi hakim ad hoc tidak dijelaskan adanya peraturan peralihan terhadap UU sebelumnya. Pada UU sebelumnya kewenangan seleksi hakim ad hoc diberikan kepada MA. UU ini harus tegas, bahwa ketentuan seleksi hakim ad hoc sebelumnya digantikan. Ketiga, terkait kewenangan KY melakukan seleksi hakim bersama MA, karena dalam UU baru itu tidak disebutkan.
Sedangkan yang keempat adalah perihal ancaman terhadap publik atas kewenangan mengambil langkah hukum terhadap orang yang merendahkan martabat hakim. Terakhir, yakni soal fungsi penyadapan. Kewenangan menyadap bersifat pro justitia untuk penegak hukum sementara KY tidak termasuk. “Penyadapan harus ada izin Ketua Pengadilan. Pasti ketua pengadilan enggan mengeluarkan perintah itu,” jelas dia.(dbs/wmr/irw)
|