JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji material (judicial review) atas UU Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
“Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,” begitu putusan majelis hakim MK yang diketuai Mahfud MD dalam persidangan yang berlangsung di gedung MK, Jakarta, Selasa (17/1).
Pengujian ini diajukan pihak pemohon, antara lain PT. West Irian Fishing Industries, PT. Dwi Bina Utama, PT. Irian Marine Product Development, Mikio Hommura, Presiden Direktur PT. Irian Product Development, PT. Alfa Kurnia, Pengurus Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI), serta Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN).
Sebelumnya, dalam surat permohonannya kepada MK, pihak pemohon mengungkapkan alasannya dalam mengajukan permohonan pengujian UU PBB tersebut yaitu bahwa atas obyek pajak yang sama yaitu hasil produksi ikan dan udang dan/atau pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya, terhadap pemohon telah dikenai beberapa kewajiban pembayaran pajak dan pungutan, yang berarti dikenai pajak/pungutan berganda.
Pajak berganda itu adalah Pajak Penghasilan Badan atas hasil usaha penangkapan ikan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya berdasarkan UU Perikanan dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bidang usaha perikanan atau PBB laut atas hasil produksi ikan.
Menurut Mahkamah, jika pasal tersebut tidak diberlakukan terhadap perusahaan perikanan, maka hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan. Bahkan, dapat menimbulkan diskriminasi karena frasa ‘memperoleh manfaat atas bumi’ sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PBB, tidak hanya dikenakan pada perusahaan perikanan saja, melainkan juga pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha lain yang memperoleh manfaat atas bumi.
Pembentukan UU PBB dan UU Perikanan, lanjut Mahkamah, merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. UUD 1945 telah membedakan antara pajak dan pungutan, yang keduanya merupakan sumber penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan dan kesejahteraan seperti diatur dalam Pembukaan UUD 1945.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah UU Nomor 16 Tahun 2009 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa. Sedangkan pungutan (PNBP) menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak.
“Berdasarkan uraian tersebut, menurut Mahkamah terdapat perbedaan mendasar antara pajak dan pungutan. Masyarakat yang membayar pajak tidak mendapat jasa timbal balik secara langsung dari negara. Sedangkan masyarakat yang membayar pungutan mendapat timbal balik yang langsung dari Negara,” kata hakim konstitusi Hamdan Zulva mengutip putusan tersebut.(dbs/wmr)
|