Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Revisi UU KPK
MK Tolak Permohonan Mantan Dirut PLN
Wednesday 24 Oct 2012 16:43:14
 

Pembacaan putusan oleh Mahfud MD di Ruang Sidang Pleno MK (Foto: Ist)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho untuk seluruhnya. Putusan dengan Nomor 31/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya pada Selasa (23/10) kemarin.

“Mengadili, menyatakan dalam provisi, menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam pokok perkara, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Pemohon pada pokoknya mendalilkan ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 UU KPK yang menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum, karena KPK dapat menggunakan LHPKKN yang dibuat oleh BPKP dalam menentukan kerugian negara dan memulai penyidikan, sedangkan menurut Pemohon, LHPKKN tersebut bukan merupakan kewenangan dari BPKP.

Norma yang diuji oleh Pemohon, yaitu Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 UU KPK mengatur mengenai tugas KPK untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Cakupan dan sifat dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan konsep “merugikan keuangan negara” serta berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang diterima karena jabatan atau kedudukan pejabat pemerintahan sangat terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itulah koordinasi dengan instansi lain merupakan hal yang penting.

“Menurut Mahkamah, tugas koordinasi adalah tugas yang seharusnya dimiliki KPK dalam rangka efektivitas melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga fungsi yang demikian tidak dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi. Di dalam beberapa putusan Mahkamah, telah dinyatakan bahwa keberadaan KPK dengan semua fungsi dan wewenangnya adalah konstitusional, sehingga setiap upaya koordinasi untuk mengefektifkan fungsi dan wewenang tersebut adalah konstitusional,” jelasnya.

Anwar melanjutkan bahwa Pasal 47 ayat (2) PP 60/2008 dan Pasal 49 PP 60/2008 tersebut menyebutkan BPKP sebagai salah satu aparat pengawasan intern pemerintah, dan salah satu dari pengawasan intern itu termasuk audit investigatif. Kewenangan BPK diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi seperti BPKP dan BPK telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tugas dan kewenangan tersebut tidak perlu disebutkan lebih lanjut dalam penjelasan UU KPK.

“Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya,” urai Anwar.

Selanjutnya, Anwar menjelaskan kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon yaitu mengenai sah atau tidak sahnya LPHKKN yang digunakan oleh KPK sebagai dasar penetapan penyidikan merupakan kerugian atau potensi kerugian yang dapat terjadi karena pelaksanaan dari proses penegakan hukum atau implementasi terhadap norma-norma dalam UU KPK. Sah atau tidak sahnya LPHKKN yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP, lanjut Anwar, tidak berkaitan langsung dengan konstitusionalitas norma yang mengatur tugas KPK untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi lainnya. Tugas dan kewenangan instansi yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 6 UU a quo, dalam hal ini BPKP dan BPK telah disebutkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masing-masing.

“KPK sebagai salah satu pelaku dari sistem peradilan korupsi memiliki kewenangan diskresioner untuk meminta dan menggunakan informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi atau pihak- pihak lain yang terkait untuk kepentingan penyidikan. Mengenai terbukti atau tidak terbuktinya kerugian negara yang disebutkan dalam LPHKKN atau sah-tidak sahnya LPHKKN tersebut tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya. Dengan perkataan lain, walaupun KPK memiliki kewenangan diskresioner untuk menggunakan informasi tentang kerugian negara dalam bentuk LPHKKN dari BPKP atau BPK dalam penyidikan, digunakan atau tidaknya informasi tersebut dalam pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim yang mengadili perkara,” jelasnya.

Oleh karena itu, jelas Anwar, menurut Mahkamah, permasalahan yang dihadapi oleh Pemohon merupakan ranah implementasi norma, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma. Penyebutan instansi BPKP maupun instansi lainnya dalam Penjelasan Pasal 6 UU KPK tanpa menyebut dan membatasi wewenang dari masing-masing instansi tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, permohonan Pemohon yang menginginkan agar KPK tidak lagi diperbolehkan untuk berkoordinasi dengan BPKP adalah tidak tepat dan bertentangan dengan tujuan pembentukan KPK, karena hal tersebut justru akan melemahkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan KPK, sehingga dalil Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak beralasan.

“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 UU KPK tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.(mk/bhc/opn)



 
   Berita Terkait > Revisi UU KPK
 
  Relawan Jokowi Presidium RIB Tolak Revisi UU KPK
  Forum Guru Besar Harapkan Revisi UU KPK Ditarik dari Prolegnas
  Presiden PKS: Cabut Revisi UU KPK dalam Prolegnas
  Presiden Jokowi dan Pimpinan DPR Sepakat Tunda Pembahasan Revisi UU KPK
  Ketua KPK: Saya Siap Mengundurkan Diri Jika Revisi UU KPK Dilakukan
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2