JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) yang di ajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), dan Lembaga Pengawan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), diruang sidang Pleno MK, pada Senin (20/4).
“Amar putusan, menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,“ ucap ketua MK Arief Hidayat pada sidang putusan perkara nomor 17/ PUU-XIII/2015.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, pasal a quo yang mengatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meskipun terhadap putusan tersebut terdapat upaya hukum PK. Dengan kata lain, pasal tersebut meneguhkan suatu asas bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan.
“Dengan demikian ada atau tidaknya adanya permohonan PK, tidak menghalangi pelaksanaan putusan tersebut demi kepastian hukum yang adil. Asas tersebut justru mengimplementasikan salah satu prinsip negara hukum,“ terang Suhartoyo membacakan Pendapat Mahkamah.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pasal yang dimohonkan pengujian tidak menimbulkan kerugian konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) maupun yang bersifat aktual. Tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian, apalagi secara fakta bahwa kekhawatiran para Pemohon terkait ditundanya pelaksanaan eksekusi pidana mati karena adanya upaya hukum PK tidak menghalangi eksekusi pidana mati.
Hormati Asas Kehati-hatian
Suhartoyo juga menjelaskan bahwa Kalaupun terdapat permasalahan, hal tersebut bukanlah masalah konstitusionalitas norma melainkan masalah implementasi suatu norma dan di dalam hal ini jaksa selaku eksekutor di dalam mengeksekusi terpidana mati yang memang harus sangat hati-hati karena menyangkut nyawa seseorang yang berkaitan erat dengan hak asasi yang sangat mendasar.
“Oleh karena itu, kita harus menghormati sikap kehati-hatian jaksa selaku eksekutor, mengingat seorang terpidana mati yang sedang mengajukan PK haruslah ditunggu terlebih dahulu sampai adanya putusan untuk menghindari adanya permohonan PK yang dikabulkan oleh Mahkamah agung (MA) sesudah eksekusi dilaksanakan. Demikian pula halnya dengan permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati maupun keluarganya,”ujar Suhartoyo.(panjierawan/mk/bh/sya) |