JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mahkamah Agung (MA) mendesak meminta pemerintah segera melakukan revisi UU Grasi yang mengatur soal pemotongan masa pemidanaan (remisi) bagi narapidana (napi). Hal ini diperlukan sebagai upaya untuk menghentikan pemerberian remisi bagi napi korupsi dan terorisme.
“Jika pemerintah ingin menghentikan pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi dan kasus terorisme, maka sebaiknya dilakukan revisi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai remisi. Setelah itu, barulah kebijakan pemberian remisi bagi koruptor dan teroris bisa dihentikan,” kata Ketua MA Harifin Andi Tumpa di gedung MA, Jakarta, Selasa (27/9).
Menurut dia, tindakan Menkumham Patrialis Akbar memberikan remisi terhadap napi jeniskejahatan luar biasa itu, selama ini tidak salah. Alasannya, saat mengeluarkan remisi itu, perundang-undangan masih mengatur hal tersebut. "Remisi dilakukan sesuai UU, menteri justru salah bila tidak segera melakukannya," jelas Harifin.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui penghentian (moratorium) pemberian remisi kepada terpidana kejahatan terogranisasi, terutama korupsi dan terorisme. Hal itu menyusul tekanan kuat dari masyarakat untuk dihapuskannya remisi bagi napi kedua jenis kejahatan itu. Pemberian remisi dianggap tidak membuat jera pelakunya.
Remisi Ilegal
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding mendesak Kemenkumham mengusut tuntas kasus dugaan jual-beli remisi yang terjadi di Lapas Klas II B Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar). Kementerian itu pun diminta untuk membuat tolak ukur yang jelas dalam pemberian remisi bagi seorang napi.
“Jika diduga ada konteks pemberian imbalan berupa uang untuk remisi, harus ditindaklanjuti untuk dicari kebenarannya. Dan perlunya pengawasan setiap lapas yang ada agar masalah tak terulang lagi. Kemenkumham juga harus memperbaiki kelemahan sistem tersebut,” imbuh Sudding.
Menurut dia, Kemenkumham juga harus memantau dan mengawasi pemberian remisi, karena dikhawatirkan hal serupa terjadi di lapas lain di Indonesia. Kasus Lapas Ketapang kemungkinan yang bisa terungkap. Tidak tertutup kasus serupa juga marak terjadi di lapas lainnya. “Menkumham harus mengefektifkan pengawasan internal,” pintasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kalapas Klas II B Ketapang, Kalbar, Indra Sofyan dilaporkan oleh seorang pegawai lapas tersebut, Abdurrahman kepada Kemenkumham. Indra diduga mengeluarkan beberapa kebijakan yang melanggar hukum. Atas hal ini, Ditjen Pemasyarakatan menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan internal.(tnc/wmr/rob)
|