JAKARTA, Berita HUKUM - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus, SH meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) dan Kepala BKN RI untuk meninjau kembali atau mencabut SKB Nomor:182/6597/SJ, Nomor : 15 Tahun 2018 dan Nomor :153/KEP/2018, Tertanggal 13 September 2018.
Menurut Petrus, SKB Tiga Menteri dimaksud tidak memiliki Landasan Hukum karena tidak ada Putusan Hakim yang memberi wewenang kepada ke 3 (tiga) Menteri tersebut untuk mencabut status kepegawaian ASN (Aparatur Sipil Negara) yang menjadi Terpidana Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap.
"Pejabat yang (seharusnya) memiliki wewenang untuk melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap adalah hanya Jaksa Penuntut Umum selaku Eksekutor, sehingga dengan demikian ke 3 (tiga) Menteri dimaksud tidak memiliki Legal Standing dengan dasar SKB mencabut Status dan Hak Mantan Napi ASN," lugas Petrus melalui pesan singkatnya, di Jakarta, Rabu (23/1).
Ketika sebuah tindakan administratif yang hendak dijalankan atas nama Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap, maka keabsahan tindakan itu barulah sah dan terjadi apabila Amar Putusan Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis selain hukuman badan atau penjara bagi Terdakwa, juga Majelis Hakim mencabut hak-hak tertentu dari Terdakwa berdasarkan wewenang Majelis Hakim yang diberikan oleh UU dan KUHP.
"Majelis Hakim dalam memberikan Pertimbangan Hukum ketika memeriksa, mengadili dan menjatuhkan vonis, Ia diwajibkan mempertimbangkan segala UU yang bersangkutan dengan Kejahatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan UU terkait lainnya yang terkait dengan hak-hak Terdakwa, bahkan sikap hidup serta keadaan sosial yang mempengaruhi cara hidup dari Terdakwa," papar Petrus.
Lebih lanjut, Petrus mengungkapkan, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi atau Tindak Pidana lain terkait kejahatan dalam Jabatan Terdakwa, ketika Majelis Hakim tiba kepada pembacaan vonis, maka ada Terdakwa yang selain divonis dengan pidana penjara dan membayar denda dan mencabut hak-hak tertentu dari Terdakwa, akan tetapi juga ada Terdakwa yang divonis hanya dengan pidana penjara dan membayar denda tanpa ada penjatuhan sanksi pencabutan hak-hak tertentu dari Terdakwa seperti hak memilih, dipilih dan hak Terdakwa sebagai ASN.
"Artinya mengenai pencabutan hak-hak terdakwa yang berasal dari ASN terkait kejahatan jabatan harus dituangkan juga dalam Amar Putusan Majelis Hakim, sehingga yang melaksanakan putusan itu adalah Jaksa sebagai Eksekutor," cetusnya.
Dengan demikian, tambah Petrus, terhadap 2.357 ASN yang merupakan mantan Napi karena telah divonis bersalah melakukan kejahahan jabatan dan telah selesai menjalani masa hukuman penjara tanpa dicabut hak-hak tertentu dari ASN, bahkan telah kembali berkarya sebagai ASN dengan prestasi baik bahkan terbaik, maka siapapun tidak boleh melakukan tindakan pemberhentian terhadap ASN mantan Napi Kejahatan Jabatan atas nama Pelaksanaan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap.
"Karena tidak semua terdakwa perkara pidana kejahatan dalam jabatan divonis penjara disertai dengan pencabutan hak-hak tertentu dari terdakwa. Dengan demikian maka 2.357 mantan napi kejahatan dalam jabatan bahkan diberi label "koruptor" yang saat ini sudah diberhentikan dari status ASN dengan segala akibat hukumnya, hanya atas dasar SKB 3 (tiga) Menteri dimaksud, maka tindakan demikian jelas merupakan Pelanggaran Hukum dan HAM," terang Petrus.
Selain daripada itu, Petrus menilai SKB 3 (tiga) Menteri dimaksud telah merampas kewenangan Badan Peradilan yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945 dan UU Tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Ini merupakan tindakan melampaui wewenang, menyalahgunakan wewenang dan mencampuradukan wewenang serta telah melanggar prinsip hukum yaitu prinsip "ne bis in idem" alias prinsip yang melarang seseorang tidak boleh diadili dan dihukum untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama yang sudah ia jalani," ujar Petrus.
"Oleh karena itu Mendagri, Menpan-RB dan KBKN-RI harus dianggap telah menghakimi 2.357 ASN dan menghukumnya di luar mekanisme Hukum Acara yang berlaku dengan melampaui wewenang, menyalahgunakan wewenang dan memcampuradukan wewenang Badan Peradilan dengan Wewenang Kekuasaan Ekskutif secara melawan hukum," sambungnya.
Atas dasar itu maka, kata Petrus, sesuai dengan Diktum ke 5 SKB 3 (tiga) Menteri dimaksud, Mendagri, Menpan-RB dan Kepala BKN RI harus memperbaiki SKB, membatalkan atau mencabut SKB dimaksud dan mengembalikan 2.357 ASN yang sudah dipecat ke dalam jabatan, fungsi dan tugasnya seperti semula.
"Ini adalah negara hukum dan sepenuhnya menjadi wewenang Badan Peradilan serta Jaksa Penuntut Umum selaku eksekutor. Jangan menghakimi 2.357 ASN untuk kedua kalinya di luar mekanisme UU, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula," tandasnya.(ps/bh/amp) |