JAKARTA, Berita HUKUM - Keputusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Soeprapto yang dinilai publik sangat janggal terhadap Mintarsih A. Latief pemilik 15 persen saham di PT Blue Bird Taxi berbuntut panjang, dan menimbulkan gejolak. Selain PN Jaksel diserbu pendemo, Komisi Yudisial (KY) ikut kena getahnya karena dianggap tidak bekerja
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmon J. Mahesa mengatakan, permasalahan ini harus dilihat lagi lebih dalam. "Kita harus melihat dulu, dalam kasus ini bukan hanya persoalan transparansi dalam hal pemeriksaan atau pemanggilan (hakim Soeprapto), bisa saja KY melakukannya secara tertulis," ujar Desmon saat dihubungi di Jakarta, Jumat (5/12).
"Saya dalam artian tidak membela KY ya, cuman laporan yang disampaikan ke KY itu dibaca dan ditindak lanjuti apa tidak? Kalau ternyata tidak, maka KY memang tidak bekerja," sambung Desmon.
Menurut Desmon, sudah menjadi hal umum Mahkamah Agung (MA) tentu akan melindungi anggotanya, seperti tindakan dengan hanya memindahkan hakim Soeprapto ke Bandung. "Dalam hal ini MA juga kan melindungi anggotanya, jadi sebaiknya ke dewan pengawas hakim," terangnya.
Seperti diketahui, Gedung KY diserbu massa yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Hukum (MPH). Aksi massa tersebut mendesak KY untuk melakukan penyelidikan kembali dan memeriksa terhadap hakim Soeprapto.
"Soeprapto sekarang menjadi hakim di PN Bandung, yang sebelumnya menjadi hakim di PN Jaksel, ini ada apa!" Teriak massa bersama orator aksi di depan gedung KY, Kamis (4/12) kemarin.
Massa membentangkan spanduk-spanduk yang bertuliskan: USUT TUNTAS KEPUSAN HAKIM YANG MENANGANI KASUS PT BLUE BIRD TAXU, "Tangkap dan Adili Hakin-hakim Nakal", "Berantas Mafia Pengadilan”, dan Bersihkan Lembaga Hukum dari hakim-hakim Nakal, serta Pecat Hakim Soeprapto.
Koordinator dari massa Pendemo, Dewa Made Pramicko mengatakan bahwa, mantan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, Soeprapto telah melakukan tindak perbuatan melawan hukum yang memvonis Mintarsih A. Latief untuk mengembalikan gaji dan THR selama 20 tahun lebih dia bekerja di PT Blue Bird Taxi sebesar Rp40 miliar.
Selain itu ada beberapa indikasi bahwasanya hakim Soeprapto disuap oleh bos PT Blue Bird Purnomo cs. Sehingga massa meminta KY benar-benar memeriksa Soeprapto. Kalau bisa melibatkan KPK, selalu memantau proses hukum yang sedang berlangsung sampai saat ini.
"Putusan Hakim Soeprapto tanpa di ikuti bukti otentik. Mintarsih juga diwajibkan membayar kerugian immaterial kepada pihak penggugat Purnomo Prawiro sebanyak Rp100 miliar. Jadi total semuanya sebesar Rp140 miliar. Ketua Majelis Hakim ini melalaikan otentik bukti, serta menggunakan pasal 310 dan 311 KUHP pada persidangan yang dilaksanakan pada 17/6/2014 lalu," beber Dewa ketika audiensi bersama perwakilan KY, Indra.
Lebih lanjut kata Dewa, dua pasal yang digunakan Soeprapto untuk memvonis dan menjerat Mintarsih telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kenapa ini masih dipakai? jadi sudah jelas-jelas ada kerancuan, karena pasal yang sudah di hapus, tapi dipakai untuk menghantam.
“Kami menduga putusan Hakim Soeprapto adalah putusan “pesanan” Purnomo,” tegas Dewa.
Sementara itu, KY yang diwakili Indra, menerima perwakilan pendemo untuk beraudiensi. Dalam pertemuan tersebut, pihak KY memang memprioritaskan kasus Mintarsih.
"Ada tiga laporan masuk ke kami, yang satu sudah selesai kami tangani, itu tidak ditemukan indikasi pelanggaran. Tapi yang dua laporan ini belum ditangani, dan semuanya akan ditindak lanjuti. Selain itu, kami kan punya biro investigasi yang turun ke lapangan, dengan tidak diketahui oleh masyarakat. Dan laporan yang sekarang akan kami akomodir," kata Kabag Pengelolaan laporan masyarakat Biro pengawasan Hakim, Indra Syamsu di hadapan perwakilan pendemo, didalam gedung KY, Kamis (4/12) kemarin.
TIDAK ADA INVESTIGASI
Ironisnya perkara yang pertama dilaporkan, namun tidak dilakukan investigasi oleh KY, tapi hanya mengkaji berkas laporan dari pelapor. Selain ke KY, MPH juga akan melakukan aksi unjukrasa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut terlibat memantau jalannya proses hukum PT Blue Bird, terkait dugaan praktik tindak pidana suap yang dilakukan Purnomo, yang merupakan bos PT Blue Bird kepada Ketua Majelis Hakim Soeprapto, dan Kemenakertrans untuk menilai dan meneliti kembali perihal putusan Soeprapto yang mewajibkan pekerja atau buruh (Mintarsih-red) untuk mengembalikan gaji 10 tahun ia bekerja.
"Kami akan melaporkan terkait kebrutalan hakim Soeprapto dalam mengambil keputusan," tegasnya.
Mengenai hal ini, wartawan sudah berupaya melakukan konfirmasi melalui telepon, Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki mengatakan, silahkan saja dilaporkan, semua pihak boleh melaporkan apa saja, dan bukti-buktinya. "Pasti kami tindak lanjuti, apa laporannya, dan bukti-bukti yang dilampirkan pasti kami tindaklanjuti. Kalau perkara sudah selesai ditindaklanjuti, kalau memang mereka punya bukti-bukti baru, kita lihat lagi. Tapi kalau misal tidak ada, ya berarti tidak ditemukan apa-apa," kata Ketua KY, Senin (15/7).
PAKAR HUKUM ANGKAT BICARA
Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji mengatakan, putusan hakim Soeprapto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kepada Mintarsih A. Latif yang diduga ada indikasi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam putusan tersebut itu wajar.
Menurutnya, jika pihak yang merasa keberatan atau kecewa dengan putusan itu maka masih bisa melakukan upaya hukum.
"Dengan demikian pihak yang kecewa atau merasa dipihak yang dikalahkan, masih dapat mempergunakan upaya hukum yang tersedia. Jadi gunakan mekanisme sesuai due process of law,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (15/7) lalu.
Sementara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan permasalahan ini agar dilaporkan ke KPK. "Pada dasarnya apabila ada dugaan hakim tersebut menerima suap, maka itu sudah bisa dilaporkan, KPK sudah membuka diri," ujar Mahfud beberapa waktu lalu.
Sedangkan, lebih lanjut mengenai dugaan KKN yang melibatkan hakim Soeprapto ini, Juru Bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan hal permasalahan ini tergantung KY. "Tergantung KY mau menginformasikan ke KPK apa nggak? Temuannya itu," ujar Johan Budi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/6) lalu.
Johan menjelaskan, KPK tidak memiliki wewenang dalam hal examinasi terhadap putusan hakim. "KPK tidak bisa meng-examinasi keputusan hakim, itu wewenang hakim, KPK tidak punya domain kesana. Dalam konteks ini, semua itu kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung," tutur Johan.(hanter/bhc/coy) |