JAKARTA-Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Mahkamah Pidana Internasional, mendesak pemerintah Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma. Pasalnya, Indonesia selama ini telah mengemukakan niatnya untuk menjadi pihak dalam Statuta. Pemerintah juga berkomitmen untuk meratifikasi pada 2013.
Hal ini bagian dari perayaan hari keadilan internasional sebagai bagian dari memperingati 13 tahun diadopsinya Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court-ICC). Mahkamah Pidana Internasional sendiri bertujuan menghapuskan praktek Impunitas di dunia dengan mengadili para pelaku kejahatan serius internasional; kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Mahkamah Pidana Internasional telah efektif berjalan sejak tahun 2002.
Namun, Koalisi memandang Indonesia dapat melakukan percepatan ratifikasi, mengingat persiapan telah dilakukan jauh sebelumnya ketika Indonesia berencana melakukan ratifikasi pada 2008. “Sangat penting bagi Indonesia untuk bergabung dalam koalisi besar dunia dalam rangka menghapus praktik-praktik impunitas. Sikap enggan dan merendahkan kedudukan Mahkamah Pidana Internasional tidak menjadikan Indonesia tidak terikat terhadap praktik Statuta jika di Indonesia terjadi kejahatan serius internasional. Untuk itu Koalisi mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma secepat mungkin tanpa harus menunggu 2013,” kata juru bicara Koalisi Sipil Mugiyanto dalam rilis yang diterima redaksi beritahukum.com. di Jakarta, Senin (18/7).
Koalisi Indonesia juga berpendapat, saat ini Indonesia memiliki kedudukan penting di regional maupun internasional. Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mempromosikan keadilan internasional sebagai bagian dalam pemecahan konflik antarnegara ASEAN. Selain itu, hal ini akan memperkuat kedudukan ASEAN dan Badan HAM ASEAN sebagai perwujudan penghormatan kepada hak asasi manusia di kawasan ASEAN.
Apalagi, lanjut dia, dengan keanggotaan Indonesia yang kembali masuk dalam keanggotaan Dewan HAM PBB. Kembalinya Indonesia dalam Dewan HAM tidak dapat dipadang sebagai pengakuan akan praktik HAM di dalam negeri. Namun, sebagai pembuktian bahwa Indonesia masih bermasalah dengan penegakkan dan penghormatan HAM di dalam negeri. Keanggotaan dalam Dewan HAM ini bukanlah dipandang sebagai bagian dari citra Indonesia. Ditambah lagi, saat ini Indonesia mendapatkan sorotan PBB karena tidak mampu melindungi dan menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi Pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.
Selanjutnya, kata Mugiyanto, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional.
Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Sedangkan yang ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain.
Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties - ASP). Dengan menjadi pihak sebelum bulan September, Indonesia dapat berperan serta dalam ASP dengan mengusulkan calon hakim yang akan sebagai pengganti enam orang hakim yang pada bulan Desember mendatang akan mengakhiri masa tugasnya.
“Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional telah menetapkan Indonesia sebagai target dari kampanye ratifikasi universal. Hal ini disebabkan Indonesia dipandang memiliki posisi signifikan dalam upaya memutus rantai impunitas bersama-sama dengan negara-negara lainya,” jelas Mugiyanto.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional beranggotakan lebih dari 50 organisasi masyarakat sipil di Indonesia dan individu. Koalisi dibentuk dengan mandat untuk mendorong pencapaian keadilan dan menghapus praktik-praktik impunitas di Indonesia, termasuk mendorong ratifikasi Statuta Roma di Indonesia.
Cara Kerja
Sebelumnya, pada Juli 1998, digelar sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstain). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.
Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).
Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.(rls/ans)
|