JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi Yudisial (KY) meloloskan 45 orang dari 81 calon hakim agung (CHA). Mereka lolos setelah melalui seleksi seleksi penulisan makalah dan karya profesi. Selanjutnya, para calon akan menjalani tahap seleksi tahap tiga, yakni investigasi rekam jejak dan wawancara oleh KY.
"Kami umumkan sebanyak 45 CHA yang lolos dari tahap dua sesuai keputusan dalam pleno. Dari 45 CHA itu, masing-masing 35 orang berasal dari hakim karir dan 10 orang dari nonkarir,” kata anggota KY Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrohman Syahuri dalam jumpa pers di gedung KY, Jakarta, Jumat (24/2).
Menurut dia, dari 10 calon nonkarir itu, sebanyak delapan calon murni dari akademisi atau bukan hakim dan dua calon merupakan hakim Pengadilan Negeri yakni Binsar M Goultom dan Eddy Parulian. Terkait dengan hakim karier yang lolos tahap ke dua ini, telah mencukupi permintaan MA.
“Dari 45 CHA itu, sebanyak 20 orang merupakan ahli di bidang pidana dan 25 orang ahli di bidang perdata. Jumlah ini sesuai dengan permintaan MA yang membutuhkan hakim perdata, pidana dan militer, temasuk dalam pidana dua orang merupakan hakim militer," jelas Taufiq.
Pada bagian lain, kata dia, KY akan terus menindaklanjuti pengaduan dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan terhadap lima orang hakim agung yang membatalkan delapan poin Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (PPH). "Laporan masyarakat itu tetap ditindaklanjuti sesuai dengan UU dan peraturan KY," ungkapnya.
Seperti diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan yang merupakan gabungan dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) melaporkan hakim agung Paulus Effendie Lotulung, Ahmad Sukardja, Rehngena Purba, Takdir Rahmadi dan Supandi ke KY.
Kelima hakim agung tersebut, dianggap telah melanggar kode etik dan perilaku hakim sebagaimana diatur dalam poin 5.1.2 yang berbunyi: hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan lain yang beralasan patut diduga mengandung konflik kepentingan.
Kelima hakim agung itu memiliki keterkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim, sehingga patut diduga langkah mereka menghapus delapan butir kode etik hakim mengandung konflik kepentingan. Pembatalan kode etik itu, terkait uji material yang diajukan oleh sejumlah advokat yang keberatan kalau hakim kasus Antasari diberikan rekomendasi sanksi oleh KY, karena dianggap mengabaikan alat bukti.(gnc/wmr)
|