JAKARTA, Berita HUKUM - Terkait kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan pembayaran 'signature bonus' atau bonus tanda tangan sebesar USD 784 juta atau sebesar Rp 11,3 triliun yang harus dibayar oleh Pertamina guna mengelola Blok Rokan berdasarkan Permen ESDM No.30/2017, menurut Marwan Batubara, direktur IRESS menilai kebijakan tersebut inkonstitusional.
Soalnya, jelas Marwan merujuk ayat (1) Pasal 14 UU Migas No.22/2001 termaktub "Jangka waktu Kontrak Kerja Sama (KKS) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun," demikian kata Marwan Batubata, saat acara Seminar yang digelar oleh Indonesia Resources Studies (IRESS) bertajuk, 'Menyoal Pemberlakuan Signatury Bonus Blok Rokan terhadap BUMN,' yang digela di restoran Pulau Dua, Jakarta. Kamis (24/1)
Di ayat (2) dinyatakan,'Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja Sama paling lama 20 (dua puluh) tahun' Memperhatikan Ayat (2) di atas, UU Migas memang memberikan peluang bagi Kontraktor KKS eksisting untuk mengajukan perpanjangan kontrak.
Sehubungan, terkandung kata "dapat", maka keputusan pengajuan tersebut merupakan opsional/pilihan yang bisa dikabulkan atau ditolak oleh pemerintah. Disisi lain, berdasarkan amanat konstitusi pasca Putusan MK No.36/2012, pengelolaan blok terminasi seharusnya bukan lagi pilihan atau justru memberikan kesempatan pertama bagi kontraktor eksisting/asing untuk memperpanjang kontrak, seperti yang di tentukan dalam Permen ESDM No.15/2015 atau Permen N0.23/2018 (telah dibatalkan MA).
Periode 2019-2026, terdapat 23 blok migas yang akan habis masa kontraknya (blok terminasi). Blok Bentu Segat yang dikelola EMP dan habis kontrak pada 2021 sudah diperpanjang 20 tahun. Sementara, 22 wilayah kerja (WK) migas sisanya, waktu terminasi masing-masing adalah 4 WK di tahun 2019, 6 WK di tahun 2020, 2 WK di tahun 2021,4 WK di tahun 2022, 3 WK di tahun 2023, 1 WK di tahun 2024 dan sebanyak 2 WK di tahun 2026 Dari 22 WK tersebut, sebanyak 9 WK telah mendapat keputusan Pemerintah, 3 WK diputuskan untuk dilelang, dan 10 WK masih berada dalam proses evaluasi pemerintah.
"Berbagai kewajiban PSO guna pencitraan politik yang seharusnya menjadi tanggungan pemerintah melalui APBN, pada 2017 telah membebani Pertamina lebih dari Rp 20 triliun," beber Marwan.
"Beban yang sama diperkirakan harus ditanggung Pertamina pada 2018. Dengan beban keuangan demikian berat, tak heran Pertamina harus membuat hutang baru melalui penerbitan global bond guna membayar signature bonus," jelas Marwan.
Permen, menurut Marwan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia (sesuai UU No.12/2011) jauh di bawah konstitusi, mestinya kebijakan itu batal demi hukum. Untuk itu sebaiknya blok-blok migas yang habis masa kontrak diserahkan kepada Pertamina selaku BUMN migas, Imbuhnya menyarankan.
"Tapi sikap seharusnya diambil pemerintah secara otomatis menyerahkan blok terminasi itu kepada BUMN/Pertamina. Pertamina berhak secara konstitusional untuk otomatis mengelola blok-blok migas terminasi, termasuk Blok Rokan dan 22 blok migas yang disebut di atas," Kemuka Marwan.
Nampak pantauan pewarta BeritaHUKUM.com dilokasi saat seminar dilangsungkan, selain Narasumber Dr. Marwan Batubara, turut hadir M. Yudi Katoucky (Anggota Kom. VII, DPR RI), Dr. Ryad Khairil (Eralaw), Bisman Bakhtiar (PUSHEP), M. Kholid Syeirazi (ISNU), Alfian Usman (Ketua APIB) dimoderatori oleh Salamuddin Daeng.
Marwan juga mengatakan Perpres No.43/2018, pemerintah membatalkan kebijakan BBM yang pro lingkungan dan hemat subsidi, dengan mewajibkan Pertamina menyalurkan premium di Jawa, Madura, dan Bali, yang sebelumnya telah dibatasi.
Sejatinya, pertamina merupakan wakil negara yang harus menguasai dan mengelola cadangan migas. Signature bonus hanya relevan jika dikenakan ke kontraktor asing atau swasta, lazimnya berlaku di seluruh dunia.
Ketentuan signature bonus memang tidak diatur secara detail dalam UU Migas No.22/2001. Pasal 31 UU Migas hanya mengatur secara umum penerimaan negara dari kegiatan hulu migas berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sebagian dari PNBP berupa bonus-bonus. Ketentuan lebih detail mengenai PNBP migas yang sehat dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) ternyata tidak pula diuraikan secara detail dalam 5/2004. PP ini masih mencantumkan pengaturan PNBP sama persis seperti UU Migas.
Ternyata, sama seperti aturan tentang blok-blok terminasi, regulasi yang mengatur tentang signature bonus pun hanya merujuk kepada peraturan menteri (Permen), yakni Permen ESDM No.30/2017. Dalam hal ini, Permen ESDM No.30/2017 telah menggolongkan Pertamina sama statusnya seperti kontraktor migas asing atau swasta, yang wajib membayar signature bonus bila ingin mengelola suatu blok migas.
"Permen ESDM No.30/2017 ini jelas bertentangan dengan konstitusi, sehingga pemberlakuannya harus batal demi hukum. Penerapan signature bonus dapat dianggap sebagai penghambat atas upaya membesarkan Pertamina menjadi perusahaan energi bertaraf internasional, dan mampu menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan," Imbuhnya.
Jika merujuk kebijakan berbagai negara di luar negeri, ternyata kewajiban signature bonus tidak pernah diterapkan ke BUMN bangsa sendiri. Justru berlaku sebaliknya, dimana BUMN memperoleh dukungan dan berbagai privilege yang diberi dana oleh negara. Maka wajar jika kewajiban signature bonus kepada Pertamina dibatalkan Hutang untuk Signature Bonus Pada 21 Desember 2018, Pertamina telah membayar lunas kewajiban signature bonus Blok Rokan sebesar USD 784 juta tersebut.
Ternyata sumber dana pembayaran diperoleh dari penerbitan global bond atau surat utang di pasar modal Singapura yang nilainya mencapai US 750 juta dengan tingkat bunga 6,5 % ( 2/11/2018 ).
Karena itu, pembatalan menjadi lebih relevan jika melihat kinerja keuangan Pertamina yang terus menurun. menjadi semakin membumbung berhutang guna membayar signature bonus, maka beban hutang Pertamina pada 2016 hutang Pertamina masih sebesar US$ 25,16 miliar, hutangnya naik 9 % menjadi US $ 27 miliar pada 2017 dan pada kuartal III 2018 , hutang Pertamina membengkak menjadi Rp 522 triliun ( US $ 37 miliar ), naik 40,7 % dibandingkan periode yang sama pada 2017 sebesar Rp 371 triliun.
Khusus hutang obligasi, nilainya adalah US$ 8,75 miliar pada Oktober 2018, dan naik menjadi USS 9,5 miliar pada Desember 2018 untuk membayar signature bonus! Berkebalikan dengan utang yang membengkak, laba bersih Pertamina justru terus tergerus.
Pada 2016 laba bersih Pertamina tercatat sebesar USS 3,15 miliar (Rp 41,9 triliun), lalu turun 23 % menjadi hanya US $ 2,4 miliar (Rp 36,4 triliun) pada 2017.
"Bahkan pada kuartal III 2018, karena beban-beban pencítraan politik pemerintahan Jokowi, laba bersih Pertamina terjun bebas menjadi hanya Rp 5 triliun , turun 81 % dibandingkan kuartal III 2017 sebesar US $ 1,99 miliar (Rp 26,8 triliun)." ungkap Marwan..
Apabila merujuk, janji kampanye Pilpres 2014 menjelang Pilpres 2014 Presiden Jokowi bakal membesarkan Pertamina guna memperoleh status world class, mampu mengungguli Petronas dan dapat bersaing secara global. "Ternyata janji kampanye tersebut hanya utopia," tegas Marwan.
Papar Marwan, "Jangankan memberi tambahan modal atau berbagai dukungan kebijakan guna mewujudkan janji tersebut, pemerintah Indonesia justru memberatkan keuangan Pertamina melalui kewajiban signature bonus yang harus dibayar di depan untuk pengelolaan blok-blok migas yang kontraknya berakhir," jelas Marwan.
Marwan mencermati kebijakan populis dan inkonstitusional pemerintah tersebut kontradiktif dan ironi bagi cita-cita membesarkan Pertamina seperti janji kampanye Presiden Jokowi pada 2014.
Ditambahkannya, kebijakan yang inkonstitusional dan sarat politik pencitraan itu telah menghasilkan BUMN migas RI menanggung hutang semakin membumbung tinggi ditengah kondisi keuntungan terus menurun.
Padahal, ungkapnya rakyat sangat berkepentingan agar negara memiliki BUMN energi yang kuat dan terus berkembang guna menjamin ketahanan energi nasional yang berkelanjutan. Dengan kinerja keuangan yang terus menurun akibat kebijakan yang bermasalah, kepentingan tersebut mustahil tercapai.
Maka pemberlakuan signature bonus terhadap Pertamina harus dibatalkan, soalnya Permen ESDM No.30/2017 lnkonstitusional, tandas Marwan.
"Di samping itu, sesuai peraturan yang berlaku (minimal UU BUMN), juga harus koreksi melalui alokasi dana subsidi harus ditanggung negara di APBN. Karena semua bentuk PSO yang menimbulkan beban finansial bagi Pertamina," tutupnya.(bh/mnd). |