JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi undang-undang yang mengatur proses seleksi pengangkatan hakim yang diajukan oleh Imam Soebechi, dkk, yang merupakan pengurus pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kamis (16/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Kuasa hukum Pemohon, Lilik Mulyadi menyatakan bahwa Pemohon yang terdiri dari para hakim merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat adanya keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara.
“Bahwa dengan kaitannya dengan hak dan kewenangan konstitusional hakim untuk mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kemandirian peradilan yang menentukan independensi hakim, telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang 49 Tahun 2009 juncto Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,” urai Lilik, di hadapan majelis sidang panel yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman.
Menurut Lilik, terdapat peraturan bersama yang dibuat oleh Mahkamah Agung (MA) dan KY terkait pengaturan lebih lanjut proses seleksi pengangkatan hakim. Namun menurutnya, sejak peraturan itu diberlakukan pada 2010, proses seleksi masih belum dilaksanakan. Untuk itu, Pemohon berpendapat bahwa dasar hukum proses seleksi pengangkatan hakim tersebut mengandung permasalahan konstitusionalitas karena dasar hukum proses seleksi pengangkatan hakim telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.
“Karena menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum, rechtsonzekerheid dalam penerapannya. Hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” kata Lilik.
Lebih lanjut, Lilik mengatakan bahwa kewenangan seleksi hakim oleh KY dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyangkut kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan bersifat limitatif (terbatas). Untuk itu, Lilik berpendapat bahwa dasar hukum keterlibatan KY dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara merupakan perluasan makna pengangkatan Hakim Agung. Sehingga, lanjut Lilik, perluasan makna pengangkatan Hakim Agung menurut Pemohon telah bertentangan dengan dengan UUD 1945, serta bertentangan dengan prinsip Lex Certa, Lex Stricta, dan Lex Superior Derogate Legi Inferior.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar ketentuan proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama dan hakim pengadilan tata usaha negara sepanjang frasa “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga meminta agar proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama dan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh MA. Selain itu, Pemohon meminta agar frasa “diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dimaknai “diatur dengan undang-undang”.
Setelah mendengar permohonan, Wakil Ketua MK Anwar Usman memberikan masukan terkait petitum permohonan. Menurut Anwar, ketika Pemohon meminta agar “diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dimaknai “diatur dengan undang-undang”, maka tidak dapat ditangkap apa yang dikehendaki oleh Pemohon.
Sementara Hakim Konstitusi Maria Farida memberikan saran agar permintaan Pemohon untuk mengubah frasa “diatur dengan undang-undang” diganti menjadi “diatur oleh Mahkamah Agung”. Selain itu, Maria Farida juga menyoroti permohonan yang menurutnya lebih menyangkut pelaksanaan undang-undang, bukan permasalahan norma.
“Ini mesti diperjelas lagi bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, bahwa peraturan bersama MA dan KY ada atau tidak itu tidak masalah, tetapi pasal itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak, gitu ya,” urai Maria Farida.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dalam kedudukannya sebagai IKAHI. Menurut Aswanto, Pemohon harus menjelaskan kerugian konstitusional atau potensi kerugian konstitusional dalam permohonannya. “Kalau bisa Saya sarankan agar dijelaskan lebih detail, misalnya Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3), apa kerugian konstitusional yang dialami IKAHI dengan adanya pasal itu, bahkan tidak hanya sampai di situ, di dalam permohonan ini juga harus diurai secara jelas bahwa dengan dirubahnya norma yang diuji sesuai yang diinginkan oleh Pemohon, maka potensi kerugian atau kerugian faktual yang terjadi itu bisa hilang, atau tidak terjadi kerugian,” urai Aswanto.(TriyaIR/mk/bh/sya) |