Meski termasuk dalam jajaran negeri miskin (dan terkorup) di dunia, gaya hidup pejabat Indonesia amatlah glamour. Hal ini pun sempat menjadi perhatian kalangan luar negeri. Bahkan, gaya hidup para pejabat tinggi Indonesia itu, sering menjadi bahan perbincangan sinis para petinggi negara-negara lain.
Contoh konkretnya, saat para pejabat tinggi kita melawat ke luar negeri untuk menghadiri sidang-sidang bilateral, multilateral atau berskala internasional lainnya. Rombongan delegasi kita itu datang ke tempat sidang dengan mengendarai mobil mewah.
Sebaliknya delegasi dari negara-negara lain yang juga datang ke sidang yang sama, justru mengendarai trem atau kendaraan umum. Padahal mereka adalah para pejabat tinggi dari negara-negara kaya, termasuk yang memberi utang kepada Indonesia.
Orang asing pun heran melihat kenyataan sehari-hari di Indonesia pada tahun-tahun awal krisis moneter yang berlanjut jadi krisis ekonomi itu. Tenryata, dalam kondisi krisis pun, mobil mewah tetap berseliweran di jalanan kota-kota besar di negeri ini. Sebagian masyarakat tetap menjalani hidup mewah layaknya tanpa suasana krisis. Agaknya, sense of crisis menjadfi ‘barang langka’ yang dimiliki pejabat kita.
Kita masih ingat, sikap pemerintah SBY menghambur-hamburkan uang rakyat untuk membeli 60 unit mobil Toyota Camry untuk pejabat negara. Selanjutnya, setelah terpilih kembali menjadi presiden untuk periode keduanya, lagi-lagi pemerintah SBY melakukan pergantian mobil dinas menteri menjadi Toyota Crown Royal Saloon. Sikap rezim SBY ini, tidak ada bedanya dengan kelakuan rezim-rezim sebelumnya. Saat Mega ber- kuasa, saat KTT ASEAN di Bali 7-8 Oktober 2003, pemerintah memborong mobil BMW Seri 7 untuk para kepala negara dan Seri 5 untuk pejabat setingkat menteri.
Waktu Gus Dur menghuni istana negara, ia juga bersikap sama. Pada KTT G15 (konperensinya negara-negara miskin) pemerintahan Gus Dur menyediakan 50 mobil mewah (dari rencana sebelumnya 400 unit) yang terdiri dari Mercedes Benz Seri S-500, S-600, ML-320, Audi A-6, Nissan Patrol, dan VW Caravelle. Puluhan miliar rupiah uang rakyat dihambur-hamburkan. Negara dirugikan Rp 140 miliar dari kasus ini.
Di era Soeharto, untuk para kepala ekonomi negara-negara APEC pada pertemuan di Istana Bogor (1994), 200 mobil mewah seperti Mercedes Benz S-600 dan BMW 740 diimpor. Sebelumnya, pada KTT ke-10 Nonblok tahun 1992, Soeharto juga mengimpor monil luks built-up Mercedes Benz 300 SEL (110 unit), Volvo 960 (210 unit), Nissan Patrol (210 unit), dan VW Caravelle (210 unit) untuk para delegasi.
Tabiat pejabat negara ternyata dengan amat baik diteladani oleh pejabat daerah. Seorang gubernur membeli dua unit Mercedes Benz yang hanya akan dipakai selagi berdinas di Jakarta. Hal ini menuai protes, karena pembelian dua unit Mercedes Benz itu nilainya mencapai Rp 2 miliar. Anehnya, mobil dinas sang gubernur saar berada di daerahnya itu, hanya sebuah mobil Toyota Crown. Itu artinya, dalam aktivitas sehari-harinya, ia ingin menunjukan kesederhanaan pada rakyatnya. Hal ini berbeda, saat ia berada di Jakarta. Belum lagi pejabat daerah lain yang berkelakuan sama.
Namun, beberapa hari terakhir ini, publik kembali dikejutkan dengan seorang anggota DPR yang membeli mobil super mewah Bentley yang harganya mencapai Rp 7 miliar. Tentu saja hal ini mengundang kontroversi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didesak untuk mengusutnya.
Mungkin saja dia itu orang kaya. Tapi tetap saja seorang anggota DPR harus melaporkan kekayaannya kepada KPK. Institusi penegak ini memliki wewenang untuk menelusuri dari mana asal uang yang digunakan untuk pembelian mobil mewah tersebut. Apalagi saa ini marak pemberitaan aksi main sulap uang yang dilakukan oknum di Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Fenomena mobil mewah yang banyak digilai para pejabat Indonesia untuk membelinya pakai uang rakyat ini, menggambarkan betapa para pejabat kita sama sekali tidak berpihak pada rakyatnya, melainkan berpihak pada hawa nafsunya semata. Dari sepuluh peraturan yang dikeluarkan, sembilan buahnya berpihak kepada kantongnya. (*) |