JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian atas UU Nomor 8/2011 tentang Perubahan UU Nomor 24/2003 tentang MK yang diajukan sejumlah akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
MK membatalkan sepuluh pasal dalam gugatan UU MK tersebut. Pasal tersebut, yakni Pasal 4 ayat (4 f, g, h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2h) sepanjang frasa ‘dan/atau pernah menjadi pejabat negara, Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2c, d, e), (3), (4), (5), (6), Pasal 50A, Pasal 59 ayat (2) dan Pasal 87 UU MK. Pasal-pasal tersebut dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Mahfud MD, saat membacakan amar putusan permohonan uji material (judicial review) tersebut yang berlangsung di gedung MK, Selasa (18/10). Namun, putusan tersebut tidak bulat sepakat, karena anggota hakim konstitusi Hardjono menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan itu.
Dalam pertimbangannya tersebut, MK berpendapat bahwa Pasal 4 ayat (f, g, h) yang mengatur pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu kali rapat dan satu paket jika dilaksanakan akan menimbulkan kebuntuan hukum atau kekosongan salah satu pimpinan MK, bila ada dua atau lebih calon memperoleh jumlah suara calon urutan kedua terbanyak.
Sedangkan Frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam Pasal 15 ayat (2h), dianggap MK tidak memberikan kriteria yang jelas. Sebab, tidak semua orang yang pernah menjadi pejabat negara memenuhi syarat untuk menjadi hakim konstitusi.
Untuk Pasal 26 ayat (5), MK menilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi seorang yang terpilih sebagai hakim konstitusi mengantikan hakim konstitusi yang berhenti di tengah jalan, karena masa jabatan seorang hakim konstitusi itu adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Selanjutnya, MK juga membatalkan Pasal 27A ayat (2c, d, e) yang mengatur komposisi majelis kehormatan hakim MK dengan memasukkan unsur DPR, pemerintah, MA, KY, secara permanen. Komposisi itu justru dapat mengancam dan mengganggu kemandirian hakim MK.
Pasal 59 ayat (2) UU MK, juga dinilai MK tidak jelas dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya, DPR dan presiden hanya akan menindaklanjuti putusan MK, jika diperlukan saja. Padahal, putusan MK bersifat final dan mengikat yang harus ditindaklajuti DPR dan Presiden.
Sementara Pasal 87 UU MK yang memuat aturan peralihan, dinilai selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga menimbulkan ketidaksamaan perlakuan. Sebab, ada pasal yang langsung berlaku dan dilaksanakan. Namun, ada pasal yang tidak langsung berlaku.
Khusus pengujian Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a) UU MK yang mengatur larangan MK memutus ultra petita (melebihi apa yang dimohonkan), juga dianggap nebis in idem (objek pasal yang sama telah diputus). Sebab, dalam pengujian kedua pasal itu yang dimohonkan oleh Fauzan sebelumnya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat alias dibatalkan.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah akademisi, aktivis, dan LSM mengajukan gugatan terhada UU MK atas Pasal 4 ayat (4 f, g, h), Pasal 10, Pasal 15 ayat (2d, h), Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2c, d, e), Pasal 45A, Pasal 50A, Pasal 57 ayat (1), (2), (2a), Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87. Para pemohon antara lain Prof. Saldi Isra, Prof. Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Moh Ali Syafa'at, Prof Yuliandri, dan Feri Amsari.
Mereka berpendapat bahwa keberadaan beberapa ketentuan dan pasal yang ada di UU tersebut berpotensi melanggar hak konstitusional mereka. Mereka menilai UU MK yang baru itu merusak dan melemahkan institusi MK, sehingga lembaga itu tak maksimal melindungi hak konstitusi warga negara.
Pasal-pasal tersebut, mengatur tentang dipangkasnya kewenangan MK melakukan ultra petita dalam memutus uji materi UU, adanya unsur Pemerintah dan DPR dalam Majelis Kehormatan Hakim sehingga mengancam independensi Hakim Konstitusi, larangan MK menggunakan UU lain sebagai pertimbangan dalam menguji UU, pergantian antar waktu hakim konstitusi dan syarat menjadi hakim konstitusi.(tnc/wmr)
|