JAKARTA, Berita HUKUM - Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) diminta memonitor persidangan perkara sengketa antara pengurus perseroan PT Blue Bird Taxi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Tujuannya agar Hakim yang menyidangkan perkara tidak "tergoda" dengan iming-iming salah satu pihak berperkara dalam menjatuhkan putusan.
"Hakim itu harus netral, bukan perpihak pada yang punya uang. Karenanya KPK dan KY perlu memantau persidangan apakah putus yang dijatuhkan benar-benar berdasarkan fakta persidangan," tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (21/5).
Petrus mendesak KPK dan KY turun tangan memantau proses persidangan karena TPDI mendapat laporan dari masyarakat pencari keadilan bahwa, perkara gugatan perbuatan melawan hukum Rp 4,9 triliun patut menjadi perhatian KPK dan KY, karena berpotensi terjadi praktek suap menyuap atau gratifikasi.
"KPK dan KY wajib memonitor dan memantau pergerakan proses persidangan. Selain karena nilai gugatannya sangat fantastis bernilai triliunan juga permintan sita jaminan terhadap aset tergugat sekiranya dikabulkan, maka langsung memiskinkan tergugat," ujar Petrus.
Menurutnya ke khwatiran tergugat terhadap kemungkinan Hakim mengabulkan sita jaminan yang dimohonkan penggugat sangat berlasan. Sebab masih banyak kejadian dimana sejumlah putusan dan penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan bersifat transaksional/beraroma suap. Padahal perkara PT. Blue Bird Taxi adalah sengketa yang menyangkut perbedaan pendapat yang seharusnya diselesaikan melalui forum RUPS PT. Blue Bird Taxi.
Kegagalan KPK dan Komisi Yudisial selama ini adalah keberadaannya belum memberikan rasa nyaman bagi masyarakat pencari keadilan ketika berurusan dengan Pengadilan, karena setiap urusan ke Pengadilan selalu ada ruang untuk transaksi guna memenangkan salah satu pihak yang lebih kuat membayar.
"Kita tidak menuduh ada praktek suap atau transaksi dalam perkara perdata PT. Blue Bird Taxi, akan tetapi oleh karena kondisi riil di Pengadilan yang penuh transaksional maka harus ada instansi yang mampu memberikan rasa nyaman bagi pencari keadilan ketika berperkara di Pengadilan," ujarnya.
Peran media sudah maksimal memberitakan tentang praktek suap dan model tranksasional di Pengadilaan, namun peran KPK dan KY untuk membuat efek jera Hakim belum maksimal kendati sudah ada beberapa Hakim yang ditangkap, karena terima suap dari pihak berperkara.
"Kontrol pers menjadi mubasir kalau KPK dan KY mengambil sikap diam tanpa melakukan sesuatu gerakan kontrol apapun. Apalagi tutup mata pada praktek transaksional yang sudah membudaya di Pengadilan," ujarnya.
Perkara gugatan melawan hukum antara:
Purnomo Prawiro dkk (Direktur PT. Blue Bird Taxi) melawan Mintarsih A. Latief dan keluarga ditangani Hakim bernama Soeprapto dan 2 orang Hakim lainnya.
Soeprapto beberapa bulan lalu telah dilaporkan keKY oleh pihak tergugat Mintarsih, karena dikhawatirkan tidak bisa obyektif dalam memutus perkara. Alasannya Soeprapto menangani semua perkara yang muncul pada tahun 2013 dengan penggugat yang sama, atau jikapun posisi penggugat berbalik menjadi tergugat, tetapi merupakan pihak yang berperkara dengan pihak PT Blue Bird Taxi.
Perkara tersebut yakni gugatan PT Blue Bird Taxi (Purnomo selaku Direktur PT Bue Bird Taxi) melawan Mintarsih dkk.
Tgl 17 Mei 2013, gugatan perbuatan melawan hukum oleh Lani Wibowo dan Elliana Wibowo (selaku pemegang saham PT Blue Bird Taxi) melawan Purnomo dkk (Direktur PT Blue Bird Taxi) dan gugatan perbuatan melawan hukum Mintarsih kepada Purnomo dkk (selaku Direktur PT Blue Bird Taxi.
Terkait hal ini, Hakim Soeprapto tidak bisa dikonfirmasi oleh wartawan. Sedangkan pihak Purnomo yang dihubungi melalui Kuasa hukumnya Hotman Paris Hutape juga tidak memberikan penjelasan kendati handphone Hotman aktif, tapi tidak ada suara yang menyambut di ujung telpon.
"Kalau pihak kami tidak tahu mengapa hakimnya (Soeprapto-red) itu-itu juga," ujar Mintarsih ketika ditanya apakah mengetahui alasan penunjukan Hakim Soeprapto.(bhc/coy) |