JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) digelar Rabu (13/7).
Permohonan teregistrasi Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi.
Hadir langsung dalam persidangan, Binsar mendalilkan Pasal 6B ayat (2) UU MA yang membolehkan calon hakim agung dari jalur non karier. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak tepat karena hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya, tetapi juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim non karier. Pada ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sementara, syarat hakim non karier pada Pasal 7 huruf b UU MA hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.
"Tidak dijelaskan dengan jenjang jabatan dan kepangkatan yang dicapai dan tanpa diketahui apakah dia selama ini bekerja secara terus-menerus selama 20 tahun atau tidak di instansi terkait. Maka dapat dipastikan keberadaan ketentuan ini selain sangat merugikan masa depan Pemohon termasuk hakim karier lainnya," ujarnya.
Selanjutnya, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 UU MA telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung. Hal tersebut dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan periodisasi hakim konstitusi yang tertuang dalam UU MK. Pemohon menerangkan bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung. Pemohon menyatakan, sebagai sesama penyelenggara kekuasaan kehakiman, sebaiknya pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK disamakan dengan ketentuan Ketua dan Wakil Ketua MA. "Kalau Mahkamah Agung lima tahun sekali pimpinannya diganti, mengapa MK hanya dua tahun enam bulan?" ujarnya.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang dinilai merugikan. Seharusnya, menurut Pemohon, sebagaimana hakim agung, tidak ada periodisasi jabatan bagi hakim konstitusi. "Di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung tidak ada periodisasi, sementara di Mahkamah Konstitusi ada periodisasi setiap lima tahun sekali diuji kembali. Nah, ini akan berdampak kepada independensi peradilan Mahkamah Konstitusi, sementara masih kredibel yang bersangkutan untuk tetap menjadi hakim konstitusi," paparnya.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Ketua Panel Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon agar memulai permohonan dengan menguraikan filosofi karakterisasi kekuasaan kehakiman. "Saya hanya ingin memberikan tekanan agar tidak dimulai dari upaya sinkronisasi undang-undang. Ini kan nampaknya dimulai dari tidak sinkronnya ya? Cobalah dapat dimulai dengan filosofinya," kata Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai secara teknis permohonan harus dipikirkan. Misalnya, disebutkan mesti berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim termasuk paling sedikit sejak yang bersangkutan dilantik, disumpah menjadi hakim tinggi.
"Berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk pengalaman sebagai hakim tinggi. Lebih apa namanya, lebih simpel dan tidak nanti ambigu kalau naik sejak, gitu ya. Sejak yang bersangkutan dilantik menjadi hakim tinggi karena seperti itu nanti apakah sejak disumpah itukah yang dimaksud 20 tahun? Ini menjadi bisa penafsiran lain," tandas Manahan.(ars/lul/MK/bh/sya) |