JAKARTA, Berita HUKUM - Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Keuangan Negara menggugat keberadaan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR). Mereka menengarai, keberadaan Banggar DPR yang bersifat tetap dan adanya praktik perbintangan atau pemblokiran anggaran telah membuka peluang praktik korupsi anggaran.
Para Pemohon dalam perkara ini terdiri dari empat LSM dan dua perseorangan, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari, dan Hifdzil Alim.
Pada intinya, kata salah satu kuasa hukum Pemohon, Febri Diansyah, pihaknya mempersoalkan empat hal. Pertama, keberadaan dan kewenangan Banggar DPR yang bersifat tetap. Kedua, kewenangan DPR untuk membahas Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) secara terperinci. Ketiga, perbintangan/pemblokiran anggaran. Keempat, proses dan ruang lingkup pembahasan perubahan APBN (APBN-P).
Dalam permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 35/PUU-XI/2013 tersebut, para pemohon total menguji 11 pasal yang termuat dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Pasal-pasal yang diuji ialah Pasal 71 huruf (g); Pasal 104 sepanjang frase “yang bersifat tetap”; Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan”; Pasal 107 ayat (1) huruf e; Pasal 156 huruf a, b, dan c angka 2; Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase “secara rinci”; Pasal 159 ayat (5); serta Pasal 161 UU MD3. Sedangkan dalam UU Keuangan Negara menguji Pasal 15 ayat (5).
“Kami melihat ada sejumlah kelemahan dalam persoalan prinsip dari norma-norma yang ada di dua undang-undang yang kami uji. Yang kemudian persoalan norma ini berimplikasi pada terbukanya peluang korupsi atau penyimpangan-penyimpangan lain yang nanti akan kita buktikan,” kata Febri dalam Sidang Pendahuluan, Kamis (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Febri mengungkapkan, Banggar DPR sebenarnya tidak perlu bersifat tetap dan dapat dipilih setiap tahunnya dari perwakilan-perwakilan komisi. Dia berpandangan, konsep panitia anggaran yang ada sebelum berlakunya UU 27/2009 masih lebih baik. “Karena pembahasan anggaran telah selesai semua di komisi-komisi yang bekerjasama dan membahas bersama-sama dengan kementerian/lembaga,” paparnya.
Febri menyatakan, norma-norma yang diuji tersebut berpotensi besar membuka peluang mafia anggaran dan buktinya dapat dilihat pada beberapa kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satunya, ada mata anggaran yang belum pernah dibahas di tingkat komisi bersama kementerian/lembaga, tiba-tiba Banggar memiliki kewenangan untuk membahas itu secara terpisah.
“Dari fakta-fakta persidangan terungkap bahwa ada proses-proses pembahasan APBN-P yang cenderung tertutup, terbatas untuk diketahui publik, dan juga tidak seperti pembahasan undang-undang APBN. Itulah yang membuat potensi penyimpangannya tinggi,” Febri membeberkan. “Karena jika ada norma yang membuka peluang penyimpangan dan korupsi, maka anggaran pendapatan belanja negara itu tidak akan, atau gagal, mencapai tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Usai mendengarkan paparan Febri, Panel Hakim yang terdiri dari Ketua MK M. Akil Mochtar (Ketua Panel), Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan saran dan nasihat kepada Pemohon. Selanjutnya, Pemohon diberikan kesempatan 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.(ddi/mk/bhc/rby) |