JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Permasalahan kebijakan Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengenai pengetatan pemberian Remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus Korupsi . Nampaknya akan semakin memanas, pasalnya Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana tidak gentar menghadapi serangan balik terhadap kebijakan tersebut.
"Apa pun yang dilakukan, dipidana sekalipun untuk kebijakan ini, saya siap, kalau karena pembebesan bersyarat dan pengetatan remisi ini saya masuk penjara, mati pun saya siap," ujar Denny di Jakarta, Sabtu (10/3).
Denny berpendapat banyak cara yang dilakukan Koruptor dan kelompoknya agar perilaku koruptif mereka tetap langgeng. Salah satu caranya, dengan melawan kebijakan antikorupsi melalui jalur hukum. "Di antaranya, uji Undang-Undang KPK melalui MK (Mahkamah Konstitusi), itu upaya melemahkan KPK. Lalu langkah hukum terhadap pribadi, kriminalisasi Pak Chandra dan Pak Bibit (mantan Wakil Ketua KPK -red)," katanya.
Denny menambahkan,pihaknya akan mempertahankan kebijakan tersebut karena sudah sesuai dengan PP no 28/2006 tentang Pengaturan Hak Warga Binaan itu. Serta tidak melanggar HAM. "Argumentasi yang selama ini mengatakan (kebijakan) ini sewenang-wenang, tidak berdasar', itu argumentasi yang menipu," tambahnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum tujuh terpidana Korupsi, Yusril Ihzal Mahendra menyatakan sikap Kemenkumham ini hanyalah untuk membentuk citra pemerintahan SBY akibat Panik dituding gagal memberantas Korupsi.
"Ketika langkah dikritik, rezim bukannya introspeksi malah menyerang balik menuduh kelompok kritis sebagai pro-koruptor, pembela koruptor dan bahkan memimpin Corruptor Fight Back. Padahal, yang dilakukan pengkritik esensinya bukanlah membela Korupsi, sebaliknya malah menelanjangi rezim yang telah gagal memerangi korupsi," katanya.
Bahkan Yusril menambahkan, rezim yang diduga kuat terlibat dalam praktik-praktik korupsi yang ingin mereka perangi. Lalu gagal secara esesnsi, sehingga penanganan korupsi kemudian dibelokkan menjadi serangan bersifat propaganda bermata dua.
"Di satu sisi, ingin menutupi kegagalan dan menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka adalah kampiun Anti-Korupsi, dan di sisi lain memonjokkan lawan dengan menuduhnya untuk membangun stigma' sebagai Pro dan bahkan pembela Korupsi. Rezim yang mencoba bertahan dengan menggunakan propaganda Politik ala Hitler' dan Jozeph Goebbels, dalam sejarah tak pernah berhasil untuk bertahan," tegasnya.
Yusril secara berani menegaskan, mereka adalah penipu yang sebenarnya menggunakan kedok-kedok kekuasaan yang berlapis-lapis membela diri dari kegagalan."Namun suatu ketika, kedok-kedok akan terbuka, yang akhirnya akan mempermalukan mereka di hadapan rakyatnya sendiri," tegasnya.
Seperti diketahui, kebijakan pengetatan Remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana Korupsi kembali menjadi kontroversi setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan atas Surat Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat Kementerian Hukum dan HAM. Dalam amar putusan tersebut, ketujuh terpidana Korupsi selaku penggugat harus dibebaskan.
Mereka adalah; Tiga orang terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; Dua orang terpidana kasus Korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan Dua orang lainnya terpidana kasus pengadaan alat Puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Kemenkumham melaksanakan putusan provisi tersebut dengan membebaskan ketujuh penggugat yang didampingi Yusril sebagai Kuasa hukumnya itu. Meski demikian, Kemenkumham akan mengajukan Banding' atas pokok perkara putusan PTUN tersebut. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menengarai, putusan tersebut berimplikasi lebih jauh jika tidak dilakukan Banding. Dikhawatirkan, dapat menjadi Yurisprudensi yang justru melonggarkan hukuman terpidana kasus kejahatan luar biasa lain disamping Korupsi. (dbs/rob/biz)
|