JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani menegaskan bahwa DPR tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon yang beranggapan Pasal 33 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Hal tersebut disampaikan Arsul mewakili DPR dalam sidang lanjutan uji materi UU Parpol. Sidang dengan perkara No. 35/PUU-XIV/2016 dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Rabu (1/6) di ruang sidang MK.
"Ketentuan Pasal 33 a quo memberikan jaminan perlindungan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap partai politik karena penyelesaian perselisihan partai politik setelah melalui proses di internal mahkamah partai, selanjutnya diputuskan penyelesaian perselisihan tersebut melalui pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dan dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung," jelas Arsul.
Arsul mengatakan, dalil Pemohon yang menyatakan Menteri Hukum dan HAM tidak mau melaksanakan putusan kasasi MA soal kepengurusan parpol karena tidak ada perintah di dalam amar putusan kasasi MA tersebut bukan permasalahan konstitusionalitas norma dalam UU Parpol tetapi merupakan persoalan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Dijelaskan Arsul, pelaksanaan putusan tersebut telah ada aturan hukum acaranya yakni HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan juga diatur juga tata cara pelaksanaannya dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. "Juga dibuka hak hukumnya untuk melakukan suatu tindakan hukum di dalam Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," paparnya.
Cela dalam UU Parpol
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar H.M. Laica Marzuki menerangkan berlakunya Pasal 33 UU Parpol merugikan hak konstitusional Pemohon. Menurutnya, terdapat celah antara kenyataan dan harapan yang didambakan mereka.
Laica menegaskan, Pasal 33 UU Parpol berkenaan dengan kekuatan mengikat (inkracht van gewijsde) suatu putusan peradilan, incasu putusan kasasi tentang sah atau tidak sahnya kepengurusan parpol yang bertikai tidak jelas dan menimbulkan multitafsir.
"Yang Mulia, hal ketidakpastian hukum yang disebabkan multitafsir itu menyebabkan Pemohon terpasung guna bebas berserikat karena penyelenggaraan dan kelanjutan parpol ini ke depan tidak bersesuai dengan putusan peradilan kasasi yang berkekuatan hukum tetap tetapi didasarkan pada putusan Menteri Hukum dan HAM yang pada hakikatnya merupakan beschikking daad van de administratie, menyimpangi putusan peradilan," urai Laica.
Dalam persidangan juga hadir Agus Purnomo sebagai saksi yang dihadirkan Pemohon. Agus menjelaskan posisinya sebagai anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusulkan disusunnya revisi UU Parpol. “Pada saat itu Komisi II bersepakat untuk mengajukan revisi Undang-Undang Partai Politik yang menurut sudut pandang saat itu pendapat kami ada beberapa cela. Menurut pendapat sebagaian besar di antara kami, adanya banyak partai membuat sistem presidensial tidak berjalan dengan semestinya karena itu kemudian kita bersepakat berdasarkan latar belakang sosiologis saat itu, perlu diperketat masalah pendirian partai sebagai badan hukum,” ungkap Agus.
Alasan lainnya, urai Agus, ia mengaku menyaksikan konflik internal di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Muhaimin Iskandar dengan Gusdur. Saat itu muncul gagasan bahwa semestinya konflik partai harus diselesaikan sendiri, internal mereka, kalau kemudian tidak puas baru dilanjutkan ke pengadilan.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Ibnu Utomo bersama dua orang lainnya sebagai Pemohon sekaligus kader dan anggota PPP menggugat Pasal 33 ayat (2) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi.
Menurut Pemohon, tidak adanya ketentuan dalam UU Parpol mengenai tindak lanjut penerbitan Surat Keputusan bagi susunan kepengurusan parpol yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi membuat Pasal 33 ayat (2) UU Parpol multitafsir. Pemohon berpandangan Menteri Hukum dan HAM bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannya oleh putusan kasasi. Bahkan Menteri Hukum dan HAM dapat saja menafsirkan ia menerbitkan keputusan pengesahan untuk susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh MA dalam putusan kasasi.
Akibat ketidakpastian penafsiran ketentuan hukum Pasal 33 ayat (2) UU Parpol, menurut Pemohon, parpol tak lebih hanya akan menjadi alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.(NanoTresnaArfana/lul/MK/bh/sya) |