JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pembatalan delapan poin kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung (MA) dan Ketua Komisi Yudisial (KY) melalui uji material (judicial review) yang diputuskan MA, dianggap cacat hukum. Pasalnya, SKB tersebut bukan objek uji material MA.
Selain itu, SKB tersebut merupakan suatu kebijakan dan bukan termasuk dalam hierarki tata urut perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Produk SKB itu tidak dapat diujimaterialkan olh MA,” kata mantan hakim agung Laica Marzuki dalam acara diskusi di gedung YLBHI, Jakarta, Senin (5/3).
Meski dalam suatu pemerintahan salah satu penggeraknya adalah kebijakan, lanjut dia, tapi kebijakan bukanlah hukum. Sangat tidak tepat badan peradilan menguji suatu kebijakan yang bukan ditentukan dalam hierarki pembentukan perundang-undangan. Apalagi MA tidak boleh dan tidak berwenang mengadili kebijakan.
“Pengadilan itu hanya diberikan kewenangan untuk mengadili hal-hal yang terpaut dengan hukum. Sedangkan mengenai kebijakan tidak boleh. Jika MA melakukannya, hal ini merupakan hal yang fatal yang telah dilakukan MA," jelas Laica yang juga mantan hakim konstitusi tersebut.
Kebijakan yang tertuang dalam bentuk SKB tersebut, jelas dia, sangat berbeda dengan Peraturan MA dan Peraturan KY. Alasannya, peraturan MA atau KY walaupun tidak termasuk dalam ketentuan UU Nomor 12/2011 itu, tapi masih dapat didelegasikan menjadi sebuah UU.
“Pengujian terhadap ketentuan dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diajukan empat advokat itu, tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum-red). Seharusnya, MA tidak menerima permohonan tersebut,” kata dia.
SKB itu, jelas dia, tidak terkait kerugian ataupun kepentingan pihak pemohon. Pasalnya, keputusan bersama merupakan ranah antardua lembaga negara, yakni MA dan KY. Dirinya pun mempertanyakan kepentingan dari empat pengacara, yakni Henry P Panggabean, Humala Simanjuntak, Lintang O Siahaan dan Sarmanto Tambunan mengajukan uji material tersebut.
“Seharusnya vonis yang lebih tepat dijatuhkan MA dalam mengadili perkara ini adalah tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaarrd alias NO. Tetapi anehnya, mengapa majelis hakim menerima permohonan pengacara yang tak memiliki urgensi dalam SKB yang diputuskan MA dan KY tersebut,” tandasnya.
Sebelumnya, MA tlah mengabulkan permohonan pengujian terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim. Putusan ini diajukan empat pengacara, yakni Henry P Panggabean, Humala Simanjuntak, Lintang O Siahaan dan Sarmanto Tambunan. Atas dasar tersebut, delapan poin yang terdapat dalam SKB tersebut digugurkan secara sepihak oleh MA sebagai pembuat kebijakan ini.(gnc/wmr)
|