JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali diuji secara materiil. Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia tercatat sebagai pemohon perkara Nomor 73/PUU-XIV/2016 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 22 UU MK.
Adapun Pasal 22 UU MK menyatakan:
"Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya".
Pemohon yang diwakili Dian Puji N. Simatupang menilai ketentuan yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi tersebut bersifat diskriminatif. Sebab, kedudukan hakim dalam peradilan manapun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodisasi jabatan.
"Kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya yang bersifat potensial dapat dipastikan akan terjadi terlihat pada warga negara pembayar pajak yang ingin mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, khususnya MK. Dibatasinya masa dan periodisasi jabatan hakim MK akan menghalangi terciptanya hakim Mahkamah Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela," ujarnya pada sidang yang digelar Kamis (15/9) di Ruang Sidang MK tersebut.
Membandingkan dengan UU Mahkamah Agung, Pemohon mengungkap jabatan hakim di Mahkamah Agung akan diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun. Pemohon menilai Pasal 22 UU MK merupakan produk politik hukum yang membatasi atau setidaknya berpotensi membatasi MK untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. "Untuk itulah, Pemohon meminta agar Pasal 22 UU MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," tegasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Manahan Sitompul dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan permohonan. Suhartoyo menyarankan agar pemohon memperbaiki kedudukan hukumnya karena tak cukup hanya sebagai pembayar pajak.
"Harus dilihat konteks permohonannya kaitan apa, gitu? Kalau ini masalah Hakim MK, tentunya kan harus ada spesifikasi ke sana atau paling tidak harus ada serempet-serempet ke sana," ujarnya.
Suhartoyo pun meminta agar pemohon mengelaborasi kerugian yang dialaminya apalagi ketentuan yang dimohonkan berkaitan erat dengan hakim konstitusi. Ia meminta agar berhati-hati dan tetap memperhatikan etika, mengingat hakim konstitusi yang akan memutus perkara ini. "Saya diberi pandangan dalam permohonan Bapak. Bagaimana dari segi etika? Boleh tidak Hakim itu memutus untuk kepentingannya diri sendiri? Ini lebih agak titik singgung dengan soal personalnya sangat kuat," ingatnya.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda sidang pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |