JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/8). Panel Hakim dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Permohonan Perkara Nomor 34/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh M. Yusuf Kahide (Pemohon) didampingi kuasa hukum Iwan Gunawan dkk. Pemohon menguji Pasal 69B ayat (1) UU KPK yang menyatakan, Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemohon juga menguji Pasal 69C UU KPK yang menyatakan, Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemohon berprofesi sebagai advokat dan konsultan hukum serta sebagai Direktur Eksekutif NGO/LSM KPK Watch Indonesia. Pemohon yang hadir secara daring dalam persidangan menyatakan, hasil penilaian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) telah dijadikan dasar serta ukuran baru serta melakukan seleksi untuk menentukan dapat tidaknya pegawai KPK termasuk Pemohon diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal tidak ada satupun aturan dalam peraturan perundangan baik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil (PP 41/2020) yang mensyaratkan adanya TWK. Adapun Pasal 5 ayat (4) Peraturan Perkom 1/2021 yang mewajibkan pegawai KPK untuk mengikuti seleksi melalui proses asesmen yang kemudian menjadikan syarat lolos atau tidak lolos asesmen tersebut.
Sebagai konseskuensi dari digunakannya hasil penilaian TWK sebagai dasar serta ukuran baru untuk menentukan Pemohon dan bahkan pegawai KPK lainnya diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) maka terdapat perluasan penggunaan kata dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menambahkan proses yang setara dengan seleksi dalam peralihan status pegawai.
Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 69 ayat (3) UU KPK telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Jaminan konstitusi tersebut menjelaskan dua hak mendasar dalam hubungan kerja bagi warga negara yaitu imbalan yang adil dan perlakuan yang layak dalam hubungan kerja. Perlakuan yang adil dan layak tersebut dapat ditafsirkan pada adanya persamaan pendapatan untuk jenis pekerjaan yang persis tanpa adanya diskriminasi dengan membedakan suku, ras, agama, pandangan politik, asal daerah serta jenis kelamin sesuai dengan prinsip dalam Discrimination (Employment and Occupation) Convention 1958 yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Untuk ukuran hubungan yang layak dapat ditafsirkan sesuai konvesi tersebut termasuk mulai dari akses pekerjaan sampai persyaratan dalam bekerja. Demikian disampaikan Yusuf Kahide selaku Pemohon.
Persoalan peralihan status dari Pegawai KPK menjadi ASN, menurut Pemohon, segala proses peralihan yang terjadi harus tetap mempertahankan prinsip mendasar dalam konstitusi yaitu adanya hubungan imbalan maupun perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Imbalan menyangkut tidak adanya penurunan pendapatan yang didapatkan pegawai KPK pada saat berstatus menjadi ASN dari pendapatan sebelumnya pada saat menjadi Pegawai KPK. Selain itu, perlakuan yang adil dan layak melingkupi tindakan yang tidak diskriminatif sehingga tidak adanya perubahan dari Pegawai Tetap yang bekerja di KPK menjadi Pegawai Tidak Tetap dalam konsep ASN atau bahkan kehilangan pekerjaan. Juga tidak adanya perubahan dari Pegawai Tidak Tetap yang bekerja di KPK menjadi kehilangan pekerjaan di KPK.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan, pasal-pasal yang diuji oleh Pemohon sudah pernah diuji sebelumnya di MK dan bahkan sudah diputus MK. Arief meminta Pemohon mencermati hal tersebut, agar Pemohon terbebas dari ketentuan Pasal 70 UU MK yang bisa dikategorikan sebagai ne bis in idem. Selain itu, Arief mencermati format dan struktur permohonan Pemohon, menasehati agar Pemohon mengubah bagian penutup permohonan. Arief menjelaskan, tidak ada istilah penutup dalam format permohonan pengujian UU di MK. Formatnya adalah, identitas Pemohon, pasal yang diuji, batu uji, kedudukan hukum, posita, petitum. Kemudian pada Kewenangan Mahkamah dalam permohonan, perlu ditambah UU MK yang terbaru.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel menasehati agar Pemohon lebih menekankan kerugian konstitusional pada LSM yang dipimpin oleh Pemohon. Termasuk juga menguraikan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh LSM tersebut. Karena pernah ada permohonan yang diajukan ke MK, menerangkan adanya LSM. Ternyata LSM itu baru terbentuk dan belum ada kegiatannya. Hal lain, mengenai sistematika permohonan, Pemohon bisa mempelajari melalui Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021.(MK/bh/sya)
|