JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) kembali diajukan untuk diuji. Kali ini ketentuan mengenai hak Interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, dan komposisi jabatan wakil komisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digugat oleh Abu Bakar. Pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (28/1), Habiburokhman selaku kuasa hukum Pemohon hadir untuk menjelaskan pokok-pokok permohonan perkara No. 15/PUU-XIII/2015 tersebut.
Pertama-tama, Habiburokhman meyakinkan panel hakim yang diketuai Maria Farida Indrati bahwa Pemohon memiliki hak gugat. Sebab, sebagai warga negara Indonesia, Abu Bakar berhak untuk hidup sejahtera sebagaimana diamanatkan Pasal 28H UUD 1945. Untuk memperoleh hidup yang sejahtera, Pemohon yakin bahwa kesejahteraan dapat dicapai bila negara dikelola dengan baik dan lembaga negara harus berjalan dengan baik dalam melaksanakan fungsinya dengan baik.
Namun, hal itu menurut Pemohon justru tidak tercapai akibat adanyan UU a quo. Menurut Pemohon, UU MD3 tersebut telah mengakibatkan DPR sebagai lembaga negara tidak bisa melaksanakan fungsinya dengan baik, terutama dalam konteks melaksanakan haknya, melaksanakan fungsinya, mengajukan hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Dengan kata lain, Pemohon mengatakan DPR tidak berfungsi dengan baik. Sehingga, dapat dipastikan DPR tidak bisa mengawasi penyelenggaraan negara oleh pemerintah. Ujung-ujungnya, kesejahteraan rakyat yang juga merupakan hak konstitusional Pemohon menjadi terganggu.
Terkait dengan pokok permohonan, Habiburokhman mengatakan Pemohon bermaksud mengajukan pengujian formil maupun materiil. Pemohon menganggap lahirnya UU MD3 semata-mata akibat kepentingan politik. Pemohon melihat ketika UU a quo disahkan tanpa adanya perubahan apa pun di masyarakat. Terlebih, UU a quo diubah tanpa dilengkapi dengan naskah akademik.
“Tidak ada alasan akademis pun yang bisa dipertanggungjawabkan dalam perubahan ini. Nah oleh karena itu, Pasal 22A UUD 1945 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan peraturan perundang-undangan ditentukan oleh undang-undang berarti perubahan ini melanggar banyak prinsip dalam undang-undang dimaksud,” ujar Habiburokhman.
Sementara itu, dalam konteks uji materiil, Pemohon menganggap perubahan tersebut mengakibatkan DPR tidak dapat lagi maksimal melaksanakan fungsinya hingga berujung tidak tercapainya kesejahteraan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemohon pada petitum permohonannya meminta Mahkamah menyatakan keseluruhan UU MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.(YustiNurulAgustin/mk/bhc/sya) |