JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada, Rabu (13/5) di Ruang Sidang Pleno MK dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 26/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Azwarmi alias Armi, seorang terdakwa dalam kasus kerusuhan 22 Mei 2019 silam.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 182 ayat (4), Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) huruf a dan huruf b KUHAP. Tonin Tachta Singarimbun selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa Pemohon dijatuhi hukuman karena terbukti tanpa hak, menguasai dan membawa senjata api atau bahan peledak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHAP secara tidak sah.
Menurut Tonin, Pemohon dipidana tidak berdasarkan surat dakwaan melainkan berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dalam persidangan. Dalam dakwaan, Pemohon didakwa memiliki senjata Mayer kaliber 22 mm dengan peluru kaliber 22 mm sebanyak 3 buah. Akan tetapi, dalam fakta persidangan, alat bukti yang dihadirkan berupa senjata Mayer buatan Jerman dengan peluru sebanyak 5 - 7 buah. Hal ini yang dianggap Pemohon merugikan. Padahal, seharusnya hanya berdasarkan surat dakwaan agar tidak melanggar Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."
Selain itu, Tonin juga berpendapat bahwa dalam pembuktian tidak boleh hanya berdasarkan keterangan saksi dan keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana alat bukti yang dipertimbangkan hakim dalam mempidana Pemohon diperoleh dalam proses penyidikan. Sehingga, hal tersebut harus berdasarkan keterangan saksi dan keterangan ahli dalam persidangan agar tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan hukum.
Kemudian, lanjut Tonin, hakim dalam menjatuhkan pidana berdasarkan keyakinan hakim harus mempertimbangkan keterangan saksi dan keterangan ahli terdakwa bukan hanya berdasarkan 2 alat bukti yang dapat diperoleh dari JPU saja. "Dan apabila JPU dan Terdakwa masing-masing mengajukan alat bukti yang sama kuatnya, maka pembuktian yang terkuat adalah yang mengajukan alat bukti yang lebih banyak agar tidak bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28I UUD 1945," ujarnya.
Menjelaskan Kerugian Konstitusional
Terhadap dalil-dalil para Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa identitas pemohon serta kerugian konstitusional yang dialami harus jelas dan dikaitkan dengan norma yang diuji. Sehingga, ia meminta pemohon untuk melihat permohonan-permohonan yang terdapat pada laman MK. "Silahkan Anda lihat sekian banyak permohonan di website lalu bagaimana kemudian sistematika pengajuan permohonan," tegasnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan menguraikan kerugian konstitusional yang dialami dengan dihubungkan dengan norma. "Norma itulah yang menjadi dasar MK," jelas Manahan yang memberi waktu perbaikan kepada Pemohon selambatnya pada Selasa, 26 Mei 2020 pada pukul 09.00 WIB.
Terakhir, sebagai penutup Manahan sebagai Panel Ketua Hakim menyampaikan bahwa MK membuka kesempatan bagi para pihak yang berperkara untuk mengajukan sidang secara daring terkait situasi pandemi Covid-19.
"Para pihak dalam persidangan dapat menggunakan fasilitas persidangan online dari kediaman masing-masing dengan memanfaatkan teknologi yang digunakan dan dimiliki Mahkamah Konstitusi. Adapun ketentuan untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan online, para pihak mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk menggunakan fasilitas persidangan online dua hari sebelum hari sidang diselenggarakan dengan memberitahukan tempat para pihak serta perangkat yang dimiliki. Jaringan yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Cloudx atau Zoom," kata Manahan.(Utami/tir/LA/MK/bh/sya) |