Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Virus Corona
Ahli Pemohon: UU Penanganan Covid-19 Salahi Pembentukan Peraturan UU
2020-11-15 09:24:47
 

Hendra Nurtjahjo selaku ahli pemohon memberikan keterangan secara virtual dalam sidang pengujian Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, (12/11) di Ruang Sidang MK.(Foto: Humas/Ifa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 (UU 2/2020) dinilai menyalahi pembentukan undang-undang karena bersifat limitatif. Hal ini disampaikan oleh Hendra Nurtjahjo yang hadir sebagai Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 dalam persidangan pengujian formil dan materiil UU 2/2020, pada Kamis (12/11) lalu secara virtual.

"Sebagaimana lazimnya bentuk undang-undang memiliki materi muatan yang bersifat umum dan abstrak. Undang-undang yang bersifat permanen dan berlaku bukan untuk sementara waktu. Kaidah normatif di dalamnya menjadi norma hukum yang harus diberlakukan seterusnya dan tidak semestinya dibatasi oleh hitungan bulanan atau tahunan yang tidak lazim dalam suatu bentuk hukum yang disebut sebagai undang-undang. Hal ini menyalahi pembentukan undang-undang dan tertib hukum jika digunakan untuk keadaan yang secara faktual dianggap darurat, namun penggunaannya tidak masuk secara yuridis ke dalam rezim hukum tata negara darurat, urai Hendra di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Hendra menjelaskan, implikasi atas terbitnya UU 2/2020 tidak membawa suasana yuridis ke dalam rezim hukum tata negara darurat karena tidak ada pernyataan keadaan bahaya, sebagaimana disebutkan oleh Pasal 12 UUD 1945 sebagai norma konstitusional untuk berlakunya keadaan darurat atau keadaan bahaya. Ia menambahkan terbitnya UU 2/2020 tidak mengubah status hukum keadaan normal menuju keadaan darurat.

"Sehingga setelah diterbitkannya UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penanganan pandemi, tetap merupakan keadaan normal yang tidak bisa mengabaikan norma-norma konstitusional, seperti mengenyampingkan hak asasi manusia, mengenyampingkan checks and balances system, mengenyampingkan kaidah undang-undang lainnya, mengenyampingkan pertanggungjawaban hukum yang lazim, serta penggunaan hak-hak konstitusional warga negara maupun lembaga negara," ujar Hendra yang merupakan pakar Hukum Administrasi Negara.

Keadaan Darurat Negara

Kemudian Hendra mengatakan, keadaan bahaya secara mutlak harus dipahami sebagai keadaan darurat negara. Keadaan darurat negara atau negara dalam keadaan darurat memungkinkan diberlakukannya kaidah hukum tata negara darurat. Pintu masuk untuk status negara dalam keadaan darurat ini dalam perspektif tata negara positif hanya melalui pasal 12 UUD 1945. Dalam keadaan kegentingan memaksa, lanjut Hendra, dibutuhkan bentuk hukum peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu guna mengatasi yang dianggap krisis. Menurut Hendra, perpu terbagi menjadi dua kategori, yakni perpu biasa yang menunjuk dalam keadaan kegentingan memaksa tetapi tetap dalam rezim tata negara normal serta perpu darurat yang menunjuk dalam keadaan membahayakan dan masuk ke dalam tata negara darurat. "Masing-masing kategori memiliki konsekuensi hukum dan mekanisme pertanggung jawaban hukum yang berbeda dalam keberlakuannya," jelas Hendra.

Selain itu, Hendra menyampaikan perpu hanya bisa dianggap perpu darurat apabila terhubung dengan keadaan bahaya sebagaimana dinyatakan pada Pasal 12 UUD 1945. Dalam konstruksi hukum pada bagian mengingat dan menimbang harus dirujuk secara jelas ke Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945 untuk masuk dalam kategori perpu darurat. Sehingga, dapat bergeser dalam status rezim negara darurat dengan segala konsekuensinya.

Menurut Hendra, rezim hukum tata negara darurat ini dalam hal tertentu dan terbatas dibolehkan terjadinya penyimpangan kaidah UUD 1945, UU dan hukum positif lainnya karena sifat keadaan bahaya yang melekat dalam keadaan tersebut. Keadaan bahaya ini membutuhkan tindakan penyelamatan warga negara dan organisasi negara dari ancaman yang bersifat objektif terjadi. Kelangsungan hidup organisasi negara dan warga negara menjadi hukum tertinggi yang harus diberlakukan lebih dari hukum positif yang berlaku dalam keadaan normal.

"Penggunaan kewenangan Pemerintah dan tindakan Pemerintah yang diperkenankan untuk menyimpangi kaidah hukum normal, pengurangan hak asasi manusia, dan pengurangan kewenangan konstitusional lembaga-lembaga negara tersebut berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan keadaan, penyalahgunaan hak, dan kewenangan, menjadi penumpukan kekuasaan yang menjurus kepada otoritarianisme. Walau bagaimana pun, prinsip konstitusional tetap harus dipertahankan dan sejauh mungkin menghindari untuk mendekati potensi otoritarianisme," papar Hendra.

Pengabaian Kekuasaan

Menanggapi pernyataan ahli tesebut, Wakil Ketua MK Aswanto menyampaikan bahwa dalam Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 menguji Pasal 27 UU 2/2020. Ia mengatakan, Pasal 27 UU 2/2020 berisi mengenai impunitas. Menurutnya, secara teori di dalam kondisi darurat pemerintahan yang lebih dominan adalah eksekutif karena memiliki informasi, mekanisme pengambilan keputusan yang cepat sehingga memang diakui.

"Pertanyaan saya, apakah dalam kondisi dominan itu kemudian menjadi dibolehkan untuk mengabaikan kekuasaan-kekuasaan lain seperti kekuasaan pengadilan karena kalau misalnya kekuasaan yang dominan itu tidak dikontrol maka mungkin terdapat penyalahgunaan-penyalahgunaan. Mohon penjelasan Bapak mengenai Pasal 27 ayat (2) itu," tanya Aswanto.

Menjawab pertanyaan Wakil Ketua MK Aswanto, Hendra berpendapat bahwa segala sesuatu yang mengurangi hak-hak konstitusional, termasuk kekuasaan lembaga legislatif maupun yudikatif tidak dimungkinkan di dalam perspektif keadaan pada saat ini.

"Apakah dibolehkan pengabaian kewenangan? Tentu saja tidak memungkinkan karena batasnya adalah rezim hukum tata negara normal itu digunakan untuk keadaan normal dan hukum tata negara darurat digunakan untuk hal-hal yang sifatnya mengatasi actual treat, ancaman yang aktual, ancaman yang nyata terhadap nyawa dari warga negara dan runtuhnya organisasi negara. Jadi, keadaan bahaya ini harus dimaknai secara proporsional, apa yang dikorbankan untuk dari hak-hak konstitusional itu untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam eksistensi negara secara utuh," jelasnya.

Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.

Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat mengubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.

Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat 'hal ikhwal kegentingan yang memaksa' dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.

Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.

Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.

Sedangkan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.

Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: "Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut." Seharusnya, apabila DPR menerima Perpu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perpu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.

Sebelum menutup sidang, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis, 12 November 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Sururudin dan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis. (MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Virus Corona
 
  Pemerintah Perlu Prioritaskan Keselamatan dan Kesehatan Rakyat terkait Kedatangan Turis China
  Pemerintah Cabut Kebijakan PPKM di Penghujung Tahun 2022
  Indonesia Tidak Terapkan Syarat Khusus terhadap Pelancong dari China
  Temuan BPK Soal Kejanggalan Proses Vaksinasi Jangan Dianggap Angin Lalu
  Pemerintah Umumkan Kebijakan Bebas Masker di Ruang atau Area Publik Ini
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2