JAKARTA, Berita HUKUM - Mekanisme masa jabatan Hakim Konstitusi yang hanya 5 tahun dalam satu periode dan hanya bisa kembali untuk satu kali masa jabatan menimbulkan perbedaan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Padahal UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), MK dan MA memiliki kedudukan yang sama.
Hal ini disampaikan oleh Nelman Kusumah selaku Ahli yang diajukan oleh Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Riyanti, dalam sidang uji materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945 pada Selasa (13/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
“MA lebih dari MK, padahal kedudukan antara MA dan MK sama-sama dalam formulasi kausul Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa MA maupun MK menggunakan frasa sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, perumusan norma masa jabatan, MA dan MK berbeda. MA masa jabatannya sejak diambil sumpah pelantikan hingga 70 masa pensiunnya. Sedangkan MK hanya lima tahun, terhitung sejak yang bersangkutan diambil sumpah pelantikannya. Ini bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Nelman di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut Nelman, untuk menangani permasalahan masa jabatan tersebut, hendaknya tidak membedakan dua lembaga peradilan ini. Hal tersebut, lanjut Nelman, karena keduanya (MA dan MK, red.) memiliki kedudukan yang setara. “Meski kewenangan bisa berbeda, tapi masa jabatan patut disetarakan, diatur dalam ketentuan yang sama, yaitu Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Norma ini terjadi kejanggalan karena masa jabatannya berbeda atau dibedakan. Agar tidak menimbulkan kekhawatiran berlebihan dengan dirumuskannya masa jabatan Hakim Konstitusi seperti masa jabatan MA,” paparnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ahli Pemohon lainnya, Andi M. Asrun, yang menjelaskan mekanisme bagi hakim incumbent untuk masa jabatan 5 tahun kedua, membawa pemahaman bahwa jabatan hakim MK adalah jabatan hakim ad hoc yang tidak sejalan dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Setiap ada tes ulang, seleksi ulang setiap lima tahun bagi hakim MK seolah MK sama seperti komisi-komisi negara yang menyeleksi kembali terhadap calon anggota komisi tanpa memperdahulukan apakah yang bersangkutan pelamar baru atau calon incumbent. Menyeleksi kembali Hakim MK untuk masa jabatan 5 tahun ke dua jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3), kemudian Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1),” urainya.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan pembatasan masa jabatan hakim konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 22 UU MK, yang berbunyi “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.”
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan tersebut karena merasa khawatir dengan potensi terhambatnya proses rekrutmen hakim konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemohon bercermin pada munculnya perseteruan yang terjadi pada anggota DPR periode 2014-2019 antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Pemohon berpandangan perseteruan tersebut dapat berimbas pada pemilihan hakim konstitusi apabila ada Hakim Konstitusi yang berasal dari pilihan DPR habis masa jabatannya.
Selain itu, Pemohon berargumen bahwa ketentuan tersebut menimbulkan perlakuan berbeda antara Hakim Konstitusi dengan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, padahal kedua lembaga kekuasaan kehakiman itu diatur pada pengaturan yang sama yaitu Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga berpendapat berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012, MK dan MA merupakan lembaga yang setara, sehingga Pemohon menilai menjadi aneh jika masa jabatan hakim pada kedua lembaga tersebut berbeda atau dibedakan.
Lebih dari itu, Pemohon juga berpendapat bahwa norma yang ada pada Pasal 22 UU MK tidak selaras dengan Pasal 23 ayat (1) UU MK yang mengatur bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam tuntutannya pemohon meminta kepada MK untuk memberikan penafsiran konstitusional, bahwa Pasal 22 UU MK bertentangan dengan konstitusi jika tidak dimaknai “masa jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun yaitu berusia 70 tahun”.(LuluAnjarsari/mk/bhc/sya) |