JAKARTA, Berita HUKUM - Mantan Hakim Konstitusi, Harjono dihadirkan sebagai ahli pada sidang Perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh oleh PT Indiratex Spindo selaku Pemohon pada Senin (30/3). Harjono menyampaikan keahliannya di hadapan pleno hakim yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman.
Pakar hukum tata negara (HTN) tersebut menyampaikan keahliannya terkait pengujian terhadap Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Alternatif Penyelesaian Sengketa. Untuk diketahui, kedua pasal tersebut mengatur norma terkait pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Menurut Harjono, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia pada masa kemerdekaan, timbul persoalan dalam sistem hukum di Indonesia yang menyangkut pemberlakukan perjanjian internasional yang pernah disepakati oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Persoalan yang timbul yaitu apakah kesepakatan tersebut tetap berlaku dalam sistem Indonesia yang telah merdeka atau tidak.
Terhadap persoalan yang timbul tersebut, Mahkamah Agung (MA) dalam memutus permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berpendapat bahwa Indonesia tidak terikat oleh perjanjian yang pernah dibuat oleh Pemerintah Belanda. Sehingga, ketentuan yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dasarnya bukanlah perjanjian internasional. Melainkan, ketentuan arbitrase yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan 651 dari Reglemen Acara Perdata.
Lewat putusan MA dalam putusan kasasi dari Putusan Pengadilan Nomor 228/1979 tertanggal 10 Juni 1981, MA menyatakan putusan pengadilan asing tidak dapat diterapkan di Indonesia dan perjanjian transisi antara Indonesia-Belanda tidak mengikat pemerintah Indonesia. Sebab, tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mentaati hukum internasional yang disahkan oleh pemerintah Belanda.
Pada Tahun 1981, lanjut Harjono, pemerintah Indonesia meratifikasi New York Convention 1958 tentang Recognation and Enforcement of Foreign Arbritration Award dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Namun, lewat putusan kasasi MA sebelumnya, Keppres No. 34 Tahun 1981 yang merupakan ratifikasi dari New York Convention justru dinyatakan tidak secara otomatis membuat konvensi New York dapat ditetapkan hingga pemerintah mengeluarkan implementasi legislation.
Namun meskipun Mahkamah Agung menyatakan bahwa konvensi New York 1958 tidak dapat diterapkan secara otomatis sebelum pemerintah membuat implementing legislation, nyatanya pemerintah Indonesia sampai sekarang tidak pernah membuat aturan yang disyaratkan oleh Mahkamah Agung itu yaitu adanya implementing legislation. Pemerintah Indonesia juga tidak pernah mencabut Keppres 34 Tahun 1981. “Artinya, (Pemerintah Indonesia, red) tetap menyatakan sikapnya untuk terikat dengan konvensi New York 1958,” jelas Harjono.
Berkaitan dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, MA kemudian menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Menurut Harjono, PERMA tersebut kemudian digunakan MA untuk menjadi dasar dalam memutus permohonan pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing atau arbitrase internasional.
Bila dilihat dari sudut pandang akademik dan ilmu hukum, Harjono mengatakan PERMA tersebut menimbulkan kontroversi. Sebab, MA sendiri yang sebelumnya memutuskan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 untuk dapat dilaksanakan di Indonesia dan memerintahkan Pemerintah untuk membuat implementing legislation.
“Persoalannya apakah memang oleh MA yang dimaksudkan sebagai implementing legislation itu adalah PERMA yang dibuat oleh MA sendiri, yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 1990? Kalau dipahami secara pengertian hukum, kata pemerintah semestinya pemerintah Indonesia dalam konteks ini adalah negara Indonesia dan implementing legislation mestinya adalah undang-undang. Oleh karena itu, PERMA tidak tepat untuk mewadahi maksud implementing legislation tersebut,” tegas Harjono.(YustiNurulAgustin/mk/bh/sya) |