JAKARTA, Berita HUKUM - Holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus memenuhi syarat, yaitu pemerintah harus memilah sektor hajat hidup orang banyak, sektor komersial, dan sektor kuasi. Demikian disampaikan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy sebagai ahli Pemohon dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Sidang kelima perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
"Holdingisasi berlatar belakang pentingnya pemerintah melakukan pemilahan sektor-hajat hidup orang banyak, sektor komersial, serta sektor kuasi. Bahkan kalau terminologi lebih panjang bisa dibagi lima, bukan bisa dibagi tiga," kata Ichsanuddin, seorang ekonomi Indonesia kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Atas dasar itulah, sambung Ichsanuddin, memang harus dilakukan holdingisasi yang artinya terjadi penggabungan. "Digabung sedemikian rupa, sehingga pengelolaan ini sedemikian efisien dan efektif dalam sebagai entitas bisnis. Syarat kedua adalah selain posisi seperti itu, ini latar belakanganya. Entitas bisnis ini tidak disentuh dalam pendekatan politik praktis. Sampai dengan periode reformasi, gagasan saya tentang tidak sentuhan entitas politik dan pemilahan sektor itu tidak terjadi," ujar Ichsanuddin.
Ichsanuddin melanjutkan, penggabungan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena itu memerlukan pengawasan. Dia mencontohkan kasus penyertaan Pelindo II dengan Hutchison Port yang kemudian menjadi audit BPK menimbulkan kerugian Rp4 triliun, karena pemerintah tidak jalankan pengawasan.
"Dengan pengawasan saja, Pansus Pelindo II, pemerintah tidak menjalankan. Sama seperti keputusan Majelis Hakim MK, keputusan membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air tidak dijalankan. Presiden Joko Widodo meresponsnya pada Januari 2016. Apa artinya? Kalau relasi penyertaan saja bermasalah, tidak teratasi, bagaimana kalau penggabungan?" ucap Ichsanuddin.
Fungsi Pengawasan
Mengenai fungsi pengawasan oleh negara dijelaskan pakar ekonomi F.X. Sugiyanto, yang juga sebagai Ahli Pemerintah. Menurut Sugiyanto, fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara. Dalam hal ini pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Dikatakan Sugiyanto, pemerintah tetap akan mempunyai kemampuan untuk mengendalikan usaha, sehingga pemerintah juga akan mempunyai kemampuan untuk mengendalikan harga barang dan atau jasa pada tingkat harga yang wajar dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
"Pengendalian usaha tersebut termasuk di dalamnya bukan hanya dalam hal produksi, melainkan juga dalam hal distribusi barang dan atau jasa. Apabila individu, kelompok individu, atau negara menguasai produksi suatu barang dan atau jasa, atau menguasai distribusi termasuk pemasaran, maka individu, kelompok individu, atau negara tersebut akan dapat mengatur harga sesuai dengan harga yang diinginkan. Dalam hal penguasaan oleh negara melalui BUMN tersebut, harga yang diinginkan adalah harga yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka melindungi masyarakat demi menciptakan keadilan," papar Sugiyanto.
Tidak Bersifat Bebas
Sementara itu Ahli Pemerintah, Refly Harun menyampaikan bahwa dengan mengamati ketentuan dalam Undang-Undang BUMN dapat disimpulkan dalam menjalankan penyelenggaraan korporasi dan pengelolaan keuangan, BUMN tidak bersifat bebas tanpa pengawasan. Pengawasan terhadap BUMN bersifat berlapis, baik secara internal maupun eksternal.
"Namun demikian, terkait dengan independensi BUMN untuk menjalankan kegiatan usahanya, perlu mengingat dengan baik keberadaan Pasal 91 Undang-Undang BUMN yaitu selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN," ungkap Refly sebagai pakar hukum tata negara.
Dengan demikian, tegas Refly, BUMN dalam menjalankan pengurusan bisnisnya harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip independen dan profesionalitas dengan menutup pintu bagi adanya intervensi dari pihak lain dalam pengurusan BUMN, termasuk dari DPR agar tujuan usaha BUMN dapat tercapai sebagaimana mestinya.
Pegawai BUMN PT. PLN (Persero) menguji Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN yang menyebutkan, "Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai : a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva."
Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali. Menurut Pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang "daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal".
Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100%, yang akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya)
|