JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan peningkatan nilai tambah sumber daya alam mineral dan/atau batu bara yang diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) tidak mengandung pertentangan apapun dengan prinsip negara hukum.
Dia menjelaskan norma Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba yang berisi kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam mineral dan/atau batu bara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batu bara dimaksudkan agar usaha penambangan mineral dan batu bara tidak semata-mata mengekspor bahan baku, tetapi meningkatkan nilai tambahnya. “Misalnya meningkatkan bahan mentah hasil penambangan menjadi bahan baku industri, baik bahan setengah jadi maupun bahan jadi,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (1/9).
Peningkatan nilai tambah tersebut, sambungnya, tidak mengandung pertentangan apa pun dengan prinsip negara hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal tersebut juga dinilai tidak mengandung sesuatu hal yang multitafsir sehingga bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Demikian pula saya tidak melihat adanya pertentangan norma antara Pasal 102 UU Minerba dengan norma konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena peningkatan nilai tambah justru bertujuan agar kekayaan alam dapat meningkatkan kemakmuran rakyat jika nilai tambahnya ditambahkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusril yang dihadirkan sebagai ahli pemerintah menegaskan norma Pasal 103 ayat (1) UU Minerba yang mengatur lebih lanjut bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangannya di dalam negeri adalah konsekuensi logis dari norma yang diatur dalam Pasal 102. Apabila peningkatakan nilai tambah dilakukan di luar negeri, hasil dari peningkatan nilai tambah itu tidak banyak.
Dia menambahkan, norma pengaturan di dalam Pasal 103 UU Minerba masih belum selesai karena memerlukan pengaturan lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah. Apabila peraturan pemerintah atau peraturan lain yang lebih rendah ternyata menafsirkan norma kedua pasal tersebut dengan larangan ekspor bahan mentah sehingga bertentangan dengan Konstitusi, menurut Yusril, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menilainya. “Mahkamah Agung pun, hemat saya tidak berwenang untuk menilainya. Karena kewenangan Mahkamah Agung adalah menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, bukan terhadap UUD 1945,” imbuhnya.
Lima Tahun
Sementara, pakar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menjelaskan dalam UU Minerba ditegaskan bahwa ketentuan pengolahan dan pemurnian dilakukan lima tahun setelah UU Minerba disahkan. “Artinya, sejak UU Minerba disahkan, ada waktu lima tahun bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. Kalau ada keberatan terkait pengolahan dan pemurnian, keberatan tersebut seharusnya dilakukan 5 tahun lalu, tidak pada saat sekarang ini,” ujarnya.
Menurutnya, rakyat Indonesia sudah tidak mau kandungan dalam tanah dan air sekadar diekspor tanpa ada nilai tambah. “Namun bila ada industri pengolahan dan pemurnian tumbuh di Indonesia layaknya Jepang, maka Indonesia berpeluang untuk memiliki industri lain di bidang pertambangan meski Indonesia bukan lagi negara yang memiliki galian tambang,” imbuhnya.
Bila Pasal 102 dan Pasal 103 dibatalkan, dia menilai hal tersebut tidak adil bagi para pelaku usaha yang telah menanamkan modalnya untuk membangun industri pengolahan dan pemurnian smelter. “Ketidakadilan seperti ini tentu harus mendapat perhatian saat Bapak, Ibu Majelis Hakim menentukan apakah Pasal 102 dan Pasal 103 layak untuk dibatalkan,” tutupnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) yang diwakili kuasa hukumnya, Refly Harun menilai pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor biji (raw material) secara langsung yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujar Refly.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |